Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Kecepatan Berita Versus Kecepatan Virus

Kompas.com - 01/04/2020, 15:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Dr Sudarto

VIRUS dapat menyebar secara eksponensial. Berita mengenai virus juga dapat menyebar secara eksponensial. Mana yang lebih cepat?

Pada 12 April 1945, Presiden Amerika Serikat Franklin D Roosevelt secara tiba-tiba meninggal dunia.

Berita kematian tersebut kali pertama disebarkan melaui stasiun radio. Selanjutnya berita ini menyebar dari mulut ke mulut dengan sangat cepat.

DC Miller (1945), seorang Sosiolog Amerika, dalam penelitiannya mengenai penyebaran berita menyimpulkan bahwa komunikasi interpesonal "dari mulut ke mulut" paling berperan dalam penyebaran berita kematian tersebut ke seluruh populasi masyarakat Amerika. Penelitian ini menjadi tonggak studi difusi berita selanjutnya.

Pada 22 November 1963, Presiden AS John F Kennedy tewas ditembak oleh penembak misterius. Satu jam kemudian, 92 persen rakyat Amerika sudah mendengar berita kematian tersebut.

Dalam penelitiannya, Richard J Hill dan Charles M Bonjean (1964) menyatakan bahwa dari 92 persen responden yang mengetahui berita kematian tersebut, 57,1 persen di antaranya mengetahui berita lewat komunikasi interpesonal "dari mulut ke mulut", sisanya dari media televisi dan radio.

Selanjutnya, pada 11 September 2001, terjadi serangan teroris terhadap menara kembar World Trade Center di New York City, peristiwa ini dikenal sebagai serangan 9/11.

Everett M Rogers dan Nancy Siedel (2002) menyebutkan, tidak lebih dari 3 jam kemudian, sebanyak 99 persen responden sudah mengetahui berita ini. Serangan 9/11 mengejutkan dan membawa kepanikan, terlihat dari hasil wawancara dengan para responden.

Menurut Rogers dan Siedel, walaupun hanya 41 persen responden yang mengetahui berita tersebut dari komunikasi interpersonal, setelah peristiwa orang saling membagi cerita melalui telepon dan internet yang membuat jaringan difusi interpersonal meningkat tajam.

Penelitian di atas paling tidak menunjukkan dua hal kepada kita. Pertama, peristiwa-peristiwa luar biasa atau mengejutkan seperti kematian seorang presiden akan cepat tersebar lewat komunikasi interpersonal "dari mulut ke mulut".

Lingkungan sekitar atau jaringan komunikasi interpersonal seperti keluarga, kelompok sosial, lingkungan kerja, merupakan tempat pertama yang dituju orang untuk menujunjukkan rasa simpati, membagi kesedihan bersama, mengurangi rasa kekhawatiran, dan menunjukkan personalitas diri.

Kedua, orang akan merespon sebuah berita dengan cara membagikannya kembali ke dalam jaringan interpersonalnya.

Rogers dan Siedel, menekankan, bahwa yang paling penting bukan melihat seberapa cepat orang menerima berita, tetapi apa respon orang setelah menerima berita.

Berita luar biasa seperti aksi terorisme akan membuat ketakutan publik, maka pertama-tama orang akan merespons secara emosional dengan memberitahukan orang lain agar lebih waspada serta ingin menunjukkan perasaan di jejaring komunikasi interpesonal, seperti perasaan takut, sedih, dan marah.

Selanjutnya orang akan saling menguatkan diri dengan berbagi cerita untuk membangun solidaritas, perlawanan bersama dan aksi sosial. Dan Ketiga, berita dapat menyebar secara eksponensial.

Tindakan-tindakan orang pada poin pertama dan kedua akan mengakibatkan berita menyebar berkali-kali lipat di antara anggota-anggota sosial.

Wabah Covid-19 di Indonesia

Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kasus Covid-19 pertama yang dikonfirmasi di China adalah pada tanggal 8 Desember 2019.

Kasus pertama di luar China terjadi di Korea Selatan dan Jepang pada akhir Januari 2020.

Pada Februari, hampir sebagian besar negara di dunia telah mengkonfirmasi kasus Covid-19 pertamanya di negara masing-masing.

Pada Februari 2020, virus Covid-19 sudah keluar China tetapi belum masuk ke Indonesia. Pemerintah, khususnya Menteri Kesehatan, masih menganggap enteng masalah ini.

Duta besar negara-negara sahabat dan perwakilan WHO mendesak Indonesia agar bersikap lebih serius dan segera mengantisipasi penyebaran virus Covid-19 di Indonesia.

Masyarakat mulai khawatir, berita-berita ancaman Covid-19 menyebar di jejaring komunikasi interpersonal. Harga masker mulai naik, empon-empon banyak dicari. Virus Covid-19 belum masuk tapi infeksinya mulai terasa.

Pada 2 Maret 2020, Presiden Jokowi mengumumkan kasus positif Covid-19 pertama di Indonesia yang menimpa 2 orang WNI di Depok. Berita ini menjadi headline di semua media massa tanah air.

Ketakutan menyebar dengan cepat, hal ini seperti terekam dalam peta emosi percakapan di Twitter oleh mesin Drone Emprit.

Kampus-kampus mulai melakukan antisipasi dengan menerapkan pembelajaran jarak jauh. Harga masker semakin mahal dan mulai jarang di pasaran. Kasusnya baru 2 orang tetapi beritanya telah menginfeksi ketakutan dan antisipasi.

Gambar emoticon analysis terhadap berita corona Depok. Facebook Damhuri Muhammad/Drone Emprit Gambar emoticon analysis terhadap berita corona Depok.

Pada 12 Maret 2020, organisasi kesehatan dunia WHO menyatakan wabah virus Covid-19 sebagai pandemi, yang artinya virus Covid-19 sebagai wabah patogen baru yang menyebar dengan mudah dari orang ke orang di seluruh dunia.

Data-data penyebaran Covid-19 hingga akhir bulan Maret 2020, menunjukkan penyebaran Covid-19 di Indonesia dan di dunia semakin meningkat. Beberapa model matematika mengenai pola penyebaran Covid-19 dari para ahli beredar di grup-grup media sosial.

Semua model penyebaran Covid-19 menggambarkan pola yang sama, yaitu kenaikan penyebaran Covid-19 secara eksponensial.

Kekhawatiran publik meningkat dengan berita-berita bergugurannya tenaga medis di lapangan serta kekurangan alat pelindung diri (APD) dan fasilitas penunjang kesehatan lainnya di rumah sakit-rumah sakit berbagai daerah.

Berita ini memicu solidaritas sosial. Banyak komunitas masyarakat mengambil inisiatif dengan menyelenggarakan pengumpulan dana untuk membantu tenaga medis di lapangan.

Sebagai mana Rogers dan Siedel dalam penelitiannya diatas, respon orang terhadap berita yang mengkhawatirkan salah satunya adalah memunculkan solidaritas dan aksi sosial.

Di luar isu kurangnya APD dan fasilitas kesehatan lainnya, isu lockdown mulai meningkat. Berita mengenai beberapa negara yang telah mengambil langkah lockdown menyebar di media massa dan grup-grup media sosial.

Kelompok-kelompok masyarakat seperti organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran UI, dan individu-individu warga negara menyerukan diterapkannya kebijakan lockdown segera oleh pemerintah pusat. Di media sosial, isu lockdown kemudian menjadi isu yang kontroversial.

Dari rekaman mesin DroneEmprit yang diambil dalam rentang waktu 20 – 27 Maret 2020, total pembicaraan mengenai lockdown di Twitter mencapai 391.411 percakapan, dengan pola pro-kontra yang jelas.

Peta Social Network Analysis mengenai pro-kontra isu lockdown di Twitter.Facebook Ismail Fahmi Peta Social Network Analysis mengenai pro-kontra isu lockdown di Twitter.

Menurut Elizabeth Noelle-neumann (1974), pro-kontra sebuah isu merupakan prasyarat terbentuknya opini publik. Pro-kontra akan meningkatkan aliran informasi di jejaring sosial karena baik yang pro maupun yang kontra akan aktif mengeskpresikan pendapatnya. Artinya, penyebaran berita mengenai lockdown akan lebih cepat dan menjadi perhatian publik.

Dari uraian di atas, penyebaran virus Covid-19 memang sangat cepat dan mengkhawatirkan, tetapi lebih mengkhawatirkan lagi adalah penyebaran rasa takut, khawatir, putus asa dan kemarahan yang sangat cepat menghinggapi publik tanah air sebagai efek dari kecepatan penyebaran berita mengenai wabah Covid-19 beserta bumbu-bumbunya.

Belajar dari peristiwa-peristiwa di dunia, bahwa penyebaran virus Covid-19 walaupun cepat tetapi masih dapat kita tekan dan kurangi, tetapi kecepatan penyebaran berita terkait Covid-19 sudah tak terbendung lagi.

Implikasi sosial

Di era digital saat ini, berita atau informasi mustahil dapat dibendung, terutama di negara demokratis.

Saat ini, penyebaran berita mengenai wabah Covid-19 beserta bumbu-bumbunya semakin cepat dan tidak dapat dihindari.

Apalagi di masa penerapan work from home (WFH) atau social distancing saat ini, di mana orang tidak lepas dari dawainya untuk terus mengikuti perkembangan wabah Covid-19.

Semakin tertutup informasi dari pemerintah, semakin berkembang spekulasi-spekulasi dan desas-desus di masyarakat. Jenis desas-desus biasanya akan tinggi tingkat kecepatan penyebarannya, karena rasa penasaran orang.

Desas-desus berbeda dengan berita bohong atau fake news. Menurut Shibutani (dalam Dan Nimmo, 2005, hal. 221), sebenarnya desas-desus adalah pengganti berita.

"Jika saluran yang dilembagakan untuk komunikasi seperti pers tidak menyajikan informasi untuk membantu orang menghilangkan ambiguitas dan mengurangi ketidak-pastian, orang bergabung untuk memenuhi permintaan mereka akan berita dengan menyusun desas-desus".

Saat ini, yang perlu diwaspadai oleh kita bersama adalah peluang terjadinya penyebaran berita bohong atau fake news yang seringkali memperburuk keadaan. Bagaimana mengatasi penyebaran fake news Covid-19 saat ini?

Pertama, keterbukaan informasi dari pemerintah dalam penanganan wabah virus Covid-19. Keterbukaan informasi akan memenuhi kebutuhan orang akan informasi pasti untuk mengelola situasi ketidak-pastian sehingga dapat mengurangi peluang diterimanya fake news.

Kedua, kejelasan strategi pemerintah dalam penanganan wabah Covid-19. Kejelasan langkah-langkah yang diambil pemerintah akan meningkatkan kepercayaan publik serta mengurangi potensi penyebaran fake news yang berdasarkan pada imajinasi.

Ketiga, menghilangkan jurang pemisah komunikasi antara pemerintah dengan warga negara. Kritik-kritik atau tuntutan dari warga negara sebaiknya ditanggapi oleh agen-agen komunikasi pemerintah sehingga terjadi dialog yang terbuka dan membangun.

Keberadaan partisan atau buzzer pendukung pemerintah dalam menghadapi kritikan pada pemerintah hanya akan meningkatkan pro-kontra yang pada akhirnya semakin menyuburkan keberadaan fake news.

Keempat, dalam situasi mencemaskan seperti saat ini, mengedepankan postingan-postingan positif akan membangun kekuatan bersama menghadapi wabah Covid-19.

Kesadaran ini akan mengurangi keinginan menyebarkan fake news yang biasanya lebih banyak membawa rasa takut dan khawatir.

Kelima, media massa sebaiknya menghindari bias atau missleading dalam penulisan judul artikel.

Ada kebiasaan orang yang hanya mem-forward judul berita karena sesuai dengan sikap pribadinya saja tanpa mengecek terlebih dahulu apakah judul artikel mencerminkan isi berita.

Pers yang sehat dan bertanggung-jawab pada akhirnya akan menjadi tumpuan pemenuhan kebutuhan informasi masyarakat sehingga keberadaan fake news semakin tidak memiliki tempat.

Sebagai penutup, kita tidak perlu terlalu risau dengan tingkat penyebaran berita mengenai Covid-19 ini selama ada keterbukaan dan kejelasan langkah-langkah dari pemerintah.

Satu hal yang perlu diperhatikan, fenomena menyebarkan berita sudah menjadi perilaku utama orang di era media sosial ini.

Sebagaimana diungkapkan oleh sebuah lembaga riset jurnalistik PEW Research Centre pada tahun 2012, yaitu "jika mencari berita adalah aktivitas yang paling utama di dekade lalu, mungkin membagi berita adalah hal yang utama di masa mendatang".

Dr Sudarto
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com