"Jika ada satu juta orang yang melapor setiap hari, itu adalah aplikasi yang luar biasa untuk para ahli epidemiologi," ucap Tim.
Baca juga: Begini Cara Sistem Kekebalan Tubuh Bereaksi Saat Diserang Virus Corona
Korea Selatan
Aplikasi serupa telah dikembangkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Keselamatan Korea Selatan. Sehingga memungkinkan orang-orang yang ada dalam karantina untuk melaporkan gejala yang dialami.
Aplikasi ini juga memanfaatkan GPS untuk mengetahui apakah masyarakat yang tengah dikarantina itu keluar dari wilayah yang diizinkan.
Selain untuk mengetahui gejala dan kondisi para orang-orang yang dikarantina, aplikasi ini juga nampaknya dirancang untuk memantau masyarakat tidak keluar untuk mengadakan pertemuan besar.
Singapura
Singapura menggunakan aplikasi TraceTogether yang bekerja dengan menukar sinyal Bluetooth jarak dekat untuk mendeteksi pengguna lain yang berada dalam jarak sekitar 2 meter.
Selanjutnya, data pelacakan akan disimpan di penyimpanan lokal ponsel dan dilindungi enkripsinya.
Ketika dihubungi oleh pelacak kontak, pengguna akan diminta untuk membagikan data mereka.
"Sistem ini menjaga privasi pengguna dari pengguna satu sama lain," kata Menteri Senior Bidang Komunikasi Singapura, Janil Puthucheary dikutip dari Reuters.
Meksipun demikian, pengguna harus mengirim data jika pihak Kementerian Kesehatan Singapura memintanya untuk proses pelacakan.
Baca juga: Wali Kota di Italia Ancam Warga yang Sepelekan Lockdown: Kirim Polisi dengan Penyembur Api
China
Setelah corona mewabah, China menggunakan aplikasi "close contact detector".
Aplikasi ini dikembangkan secara bersama oleh pihak pemerintah China dengan China Electronics Technology Group Corp (CETC).
Dengan adanya aplikasi itu dapat menyediakan informasi yang akurat, CETC mengandalkan data dari sejumlah lembaga pemerintah seperti Komisi Kesehatan Nasional, Kementerian Transportasi, Komisi Kereta Api China dan Administrasi Penerbangan Sipil China.