Berdasarkan data tersebut, Daryono mengungkapkan, sejak awal Desember 2019 di Ambon terjadi gempa berkekuatan kecil, namun dengan kedalaman pusat gempa yang dangkal.
Umumnya, meski kekuatan gempa terbilang kecil, tetapi dengan kedangkalan pusat gempa manusia dapat merasakan getaran gempa yang hebat.
"Seperti halnya di Lombok, hingga saat ini di Ambon sudah memasuki periode post seismik. Namun demikian gempa susulan berkekuatan kecil masih berpotensi terjadi," terang Daryono.
Periode post seismik merupakan suatu keadaan menuju kembali stabil atau normal pasca-gempa.
Baca juga: Akan Jadi Ibu Kota Baru, Pulau Kalimantan Tak Bebas dari Gempa
Menurutnya, sebaran aktivitas gempa Ambon menampilkan adanya aktivitas gempa yang tidak hanya terjadi di zona sesar utama saja, melainkan tersebar pada beberapa klaster dalam wilayah yang luas.
Daryono mengisahkan, saat terjadi gempa utama di Ambon pada 26 September 2019 silam, kejadian alam ini sanggup memicu aktifnya beberapa percabangan sesar dan segmen sesar lain yang ada di sekitar sesar utama.
Oleh karena itu, zona aktivitas gempa menjadi semakin meluas dan gempa terus terjadi di berbagai segmen aktif.
Adapun penyebabnya, yakni adanya aktivitas gempa-gempa yang jumlahnya banyak karena terpicu di jalur sesar yang berada di luar bidang sesar gempa utama.
Kemudian, kondisi batuan di zona gempa Ambon yang memiliki karakteristik rapuh dan tidak elastis.
Hal ini mengakibatkan batuan mudah mengalamai rekahan yang menyebabkan terjadinya banyak aktivitas gempa susulan.
Penyebab lain, yakni gempa Ambon memiliki stress drop yang rendah.
Stress drop merupakan perbedaan antara stres pada suatu kejadian sebelum dan sesudah terjadinnya gempa bumi.
Baca juga: Berkaca dari Gempa Ambon, Ini yang Harus Dilakukan Ketika Terjadi Gempa Bumi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.