Apa lagi kalau bukan soal meritokrasi yang sangat digadang-gadang Jokowi ketika mengumpulkan suara menjelang pemilihan presiden medio 2014 dan 2019.
Ternyata politik bagi-bagi kue masih tetap menjadi kebiasaan laten di negeri ini.
Rekam jejak Tony Blair dalam invasi Irak 2003 pun seolah tak menjadi soal yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah Jokowi.
“Ya itu bukan urusan kami. Pemerintah membutuhkan Blair agar ada figur internasional di tubuh dewan pengarah,” kata Luhut seolah negeri ini miliknya seorang.
Sudah tak adakah lagi sosok lebih mumpuni tinimbang seorang penjahat perang?
Sepanjang sejarah negara kita berdiri, baru kali inilah sosok dengan reputasi buruk rupa diangkat ke posisi sedemikian terhormat—yang jelas tak pantas ia duduki.
Orang Jawa punya istilah khusus terkait itu. Namanya njanur gunung. Perumpamaan ini bermakna sesuatu yang jarang sekali terjadi.
Jangka Jayabaya menyebutnya dengan, “Barang jahat diangkat-angkat (yang jahat dijunjung tinggi)/Barang suci dibenci (yang suci justru dibenci)/Akeh manugsa mung ngutamakke dhuwit (banyak orang hanya mementingkan uang)/Lali kamanungsan (lupa jati diri kemanusiaan)/Lali kabecikan (lupa hikmah kebajikan).
Padahal telah ditegaskan dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945 bagian pembukaan alinea pertama dan keempat:
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.
... dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial ...
Selain mengkhianati UUD 1945, keputusan Perintahan Jokowi juga menabrak misi mulia yang dicanangkan Bung Karno bersama Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, dan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada 18-24 April 1955, yang kemudian melahirkan Gerakan Non-Blok.
Konferensi Tingkat Tinggi yang dihadiri 29 Kepala Negara dan Kepala Pemerintah dari benua Asia dan Afrika yang baru saja merdeka tersebut -ditujukan untuk menandai dan mendalami segala masalah dunia waktu itu- lantas berupaya merumuskan kebijakan bersama negara-negara baru yang berdiri pada tatanan hubungan internasional.
KAA pun menyepakati 'Dasasila Bandung' yang dirumuskan sebagai prinsip-prinsip dasar bagi penyelenggaraan hubungan dan kerja sama antarbangsa.
Suatu pernyataan politik dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia. Ada pun isinya adalah:
Dasasila Bandung mengubah pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung telah melahirkan paham Dunia Ketiga atau “Non-Aligned” terhadap Dunia Pertama Washington, dan Dunia Kedua Moskow.
Jiwa Bandung telah mengubah juga struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Forum PBB tidak lagi menjadi forum eksklusif Barat atau Timur saja, melainkan ajang perkumpulan masyarakat global yang sama rata dan sama rasa.
Sayang, semua itu tinggal menjadi mimpi di siang bolong. Tak ada lagi spirit yang melawan kolonialisme-imperialisme ekonomi neo-liberal.
Negara bahari dengan sumber daya alam dan hayati sedemikian melimpah ini, hanya bisa menjadi pelayan bagi para penyandang modal dari negara miskin sumber daya—dengan membangun segala infra-suprastruktur ribuan triliun dari memeras keringat rakyatnya sendiri atas nama pundi-pundi pajak.
Bagaimana kita harus menyikapi ini?
Tenang saja. Kita sudah terbiasa hidup—bahkan tanpa merasakan kehadiran negara. Indonesia masih tetap ada bukan karena pemerintahannya becus mengurusi rakyat, namun rakyat lah yang dengan setia membantu negara menghidupi kebutuhanya sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.