Termasuk hari libur resmi dan cuti, upah yang diterima para buruh tidak berkurang.
Berbeda dengan skema upah per jam, ketika ada hari libur nasional, maka tidak akan mendapatkan upah.
"Karena buruh sedang libur, tidak bekerja. Jika upah dibayarkan per jam, kita khawatir pendapatan yang diterima buruh kurang dari upah minimum," kata Kahar Kompas.com, Kamis (27/12/2019).
Alasan lainnya, bagi pengusaha yang memperkerjakan buruh bisa saja hanya diperkerjakan saat jam-jam tertentu.
"Misalnya, pekerja housekeeping di hotel. Upahnya hanya dihitung beberapa jam ketika membereskan kamar, saat tamu check out, dan sebagainya," kata dia.
Baca juga: Serikat Buruh Tolak Sistem Upah Per Jam, Ini Alasannya
Berbeda dengan buruh, kalangan pengusaha justru mendukung skema upah per jam.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mendukung wacana pemerintah mengubah upah tetap dari per bulan menjadi hitungan per jam.
Dia menilai, sistem upah yang didasarkan hitungan per jam tersebut akan menguntungkan perusahaan dan pekerja.
"Ya siaplah, kalau kita enggak ada masalah. Dan itu sudah biasa di negara lain juga melakukan hal yang sama. Itu juga bagus ke pekerjanya jadi dia bisa lebih fleksibel," katanya seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com, Kamis (27/12/2019).
Sementara terkait dengan nominal penggajian, Hariyadi menyebut hal itu bergantung pada kebijakan perusahaan.
Mengingat ini masih dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, maka terkait patokan nominal memiliki parameter yang banyak.
Baca juga: Pengusaha Nilai Sistem Upah Per Jam Format yang Menarik
(Sumber: Kompas.com/ Kiki Safitri, Ade Miranti Karunia | Editor: Erlangga Djumena, Sakina Rakhma Diah Setiawan)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.