Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Efek yang Akan Terjadi jika Sering Berteriak kepada Anak

Kompas.com - 19/10/2019, 11:47 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Sebuah video menampilkan seorang anak yang menangis dan berteriak hingga memegang kepalanya saat diminta melafalkan angka dasar dalam bahasa Inggris oleh seorang perempuan dewasa.

Si anak menunjukkan respons yang demikian karena sang perempuan yang diduga adalah ibunya, memintanya untuk melafalkan “one, two, three, four, five, six” sambil menunjuk angka yang dimaksud.

Instruksi diberikan dengan menggunakan nada bicara yang tinggi.

Saat si anak melakukan kesalahan, si perempuan dewasa semakin menunjukkan emosinya dengan berteriak hingga si anak ketakutan dan menangis.

Baca juga: Tips Mencegah Kecanduan Gadget pada Anak

Dalam keterangan informasi yang beredar, hal seperti ini disebutkan dapat menyebabkan terbentuknya satu guratan di otak sang anak yang dapat memengaruhi caranya bertindak di masa yang akan datang.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 

Semua Orang Tua Pasti Pernah memarahi anak ! Tapi Kalau Anda Terlalu Sering, Anda harus menghentikannya dari sekarang. Pasalnya mengajari kebaikan pada anak tidaklah harus menggunakan nada suara tinggi dan amarah. . Demikian dikatakan Pegiat Perlindungan Anak sekaligus Pendiri Yayasan SEJiWA, Diena Haryana baru-baru ini di Jakarta pada NNC.Dijelaskan Diena, mendidik kebiasaan anak akan membuat pola guratan pada otak Anak. . Pola guratan di otak akan terbentuk apabila kebiasaan-kebiasaan telah tertanam dalam benak anak. . “Misalkan ajarkan anak letakkan handuk setelah mandi. Hari pertama diterapkan baik, hari kedua anak lupa, ya ingatkan lagi. Kalau anak lupa lagi, terus ingatkan hingga jadi kebiasaan baik pada anak. Nanti itu akan timbulkan guratan pada otak, sehingga miliki kebiasaan baik,” kata Diena. . Lebih lanjut Diena katakan, apabila orang tua mengajarkan anak dengan amarah maka akan ada perkembangan lain yang terjadi. Amarah ini hanya akan membuat anak selalu merasa takut dan tidak bisa fokus berpikir. . “Kalau orang tua marah, guratan di otak anak isinya hanya “mama marah”. Jadi bukan kebiasaan baik yang tertanam, tetapi malah ketakutan,” kata Diena. . Ketika guratan pada otak anak terbentuk dari amarah, kata Diena ada tiga bentuk reaksi yang terjadi pada anak yakni aktif, pasif dan pasif agresif. . Aktif adalah ketika anak menjadi keras seperti orang tua, pasif ketika anak tidak percaya diri dan takut, hingga pasif agresif ketika anak pendiam dan bila merasa marah akan diluapkan dengan luar biasa amarahnya. . “Bila sudah terjadi seperti itu anak akan mencari pelarian. Pelarian ini bisa positif dan jadi momen belajar sesuatu atau negatif akan melakukan tindakan diluar dugaan, seperti anak yang menembak temannya di Amerika,” kata Diena. . Artikel : Info Kesehatan.

A post shared by MAKASSAR INFO (@makassar_iinfo) on Oct 17, 2019 at 8:50pm PDT

Benarkah demikian?

Perlu diketahui, ketika mendengar teriakan, si anak sudah merekam teriakan, emosi, dan amarah yang diterimanya dari orang dewasa di lingkungan sekitarnya.

Mengajari anak dengan cara berteriak atau emosi, disebut tidak terbukti menyelesaikan masalah.

Sebaliknya, cara mendidik seperti itu hanya menimbulkan masalah lain, baik pada diri sang anak maupun orang dewasa yang mendidiknya.

Baca juga: Hari Pangan Sedunia, Ahli Gizi Harap Anak Tidak Diberi Makanan Kemasan

Psikolog Laelatus Shifa mengatakan, teriakan yang diterima oleh seorang anak dapat terekam dalam otaknya.

"Tapi memang kekerasan ataupun kenangan masa lalu yang negatif maupun positif akan terekam jelas oleh anak kita," kata Laelatus saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (19/10/2019).

Lebih jauh, teriakan itu bisa menyebabkan trauma pada diri si anak.

"Terkadang perlakuan kasar yang verbal yang diterima anak terus-menerus bisa menjadi trauma masa lalu dan memiliki akibat serius untuk kehidupan anak ke depannya," ujar Latus.

Dampak buruk juga akan didapatkan si anak selama masa pertumbuhannya.

"Karena kata-kata yang keluar itu bisa memengaruhi keyakinan anak tersebut tentang dirinya, harga diri anak tersebut," jelas dia.

Dikutip dari Healthline, suara yang tinggi akan membuat pesan yang disampaikan sulit diterima oleh seseorang, termasuk anak-anak.

Semakin tinggi nada suara yang disampaikan, akan menurunkan daya penerimaan si anak terhadap pesan yang ada.

Baca juga: Hari Anak Perempuan Internasional: Tak Tergoyahkan dan Tak Terhentikan

Berdasarkan penelitian, didikan orangtua terhadap anak yang menggunakan kekerasan dapat membuat anak semakin agresif baik secara fisik maupun verbal.

Terlepas dari apa pun, teriakan yang merupakan ekspresi dari kemarahan, ini membuat anak-anak merasa takut.

Apalagi jika teriakan itu disertai dengan kata-kata yang sifatnya menghina dapat menimbulkan efek jangka panjang seperti kecemasan, tingkat percaya diri yang rendah, dan peningkatan agresifitas.

Sebaliknya, menyampaikan dengan cara yang tenang dapat membuat anak merasa dicintai dan diterima atas segala sikap buruk yang dimilikinya.

Seorang psikiater di Harvard Medical School, Joseph Shrand, Ph.D, mengatakan, seorang anak akan semakin tidak mendengarkan apabila diberi tahu dengan cara berteriak.

Suara yang tinggi ini dapat mengaktifkan sistem limbik dalam otak mereka.

Sistem ini berfungsi mengatur respons otak terhadap stimulus yang diterima.

Dilansir dari Web MD, respons itu bisa berupa perlawanan, atau menjauh dan lari dari sumber yang memberikan stimulus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com