Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Pangan Sedunia, Ahli Gizi Harap Anak Tidak Diberi Makanan Kemasan

Kompas.com - 16/10/2019, 19:09 WIB
Retia Kartika Dewi,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada 16 Oktober 2019, Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) menyinggung mengenai malnutrisi yang diderita anak-anak dunia.

Diketahui, masih ada jutaan anak yang kekurangan gizi, namun gambarannya saat ini mencerminkan beban tiga gizi buruk, beban yang mengancam kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak, ekonomi dan masyarakat.

Urbanisasi telah menyebabkan perubahan cepat dalam pola makan dan gaya hidup, dengan lebih banyak makanan kemasan dan kurangnya aktivitas fisik.

Hal yang perlu menjadi perhatian dunia, yakni pemasaran makanan tidak sehat yang muncul di televisi, media cetak, dan saluran digital beredar tanpa peraturan yang efektif, sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendesak pemerintah untuk berkomitmen mengakhiri obesitas di masa kanak-kanak.

Tindakan yang bisa dilakukan, seperti menggunakan pendekatan yang terbukti meningkatkan nutrisi yang lebih baik dan/untuk mengatur pemasaran makanan yang tidak sehat untuk anak-anak.

Baca juga: Demam Joker, Ingat Ya, Ini Bukan Film untuk Anak-anak!

Malnutrisi

Di sisi lain, ahli nutrisi dan magister filsafat, DR dr Tan Shot Yen, M.Hum mengungkapkan bahwa efek urbanisasi yang disebutkan Unicef berdampak pada pola asuh dan ketidakpahaman ibu mengenai apa isi makanan keluarganya.

Menurutnya, yang menjadi polemik bukan dari faktor modul (ibu bekerja kelas bawah) dan masaknya, melainkan manajemen rumah tangga.

"Mustahil orang zaman sekarang enggak punya waktu. Sekarang mereka bisa masak ketika mesin cuci nyala, dan ponsel melakukan transaksi m-banking (bayar tagihan bank)," ujar Tan kepada Kompas.com, Rabu (16/10/2019).

Tan mengungkapkan, permasalahan saat ini adalah sikap atau kebiasaan perempuan yang kecanduan media sosial dan mengakses informasi gosip.

Hal inilah yang diduga menjadi pemicu ibu cenderung membeli makanan beku yang tidak perlu repot mengolah makanan sehat.

Selain itu, Tan mencontohkan bahwa ketika kita memegang ponsel dan tertarik dengan bahasan di grup chatting atau di media sosial, tidak terasa aktivitas tersebut menguras waktu berjam-jam.

Bahkan, jika digunakan dengan bijak, waktu tersebut dapat dipakai untuk mengolah makanan, meracik bumbu, atau berolahraga.

"Milenial itu miskin disiplin. Makan bisa kapan saja, dari mana saja, sama siapa saja. Disiplin tidak sama dengan kekakuan. Bukan rigiditas," ujar Tan.

Baca juga: Mengenal Jenis dan Gangguan Kesehatan Mental

Menurutnya, disiplin membuat orang memiliki rencana dan target, serta tidak mudah berbelok arah dari tujuan utama.

Namun, menilik fenomena milenial belakangan ini, Tan menganggap milenial sangat mudah berbelok arah dan cenderung quitters.

"Hidup tidak dilihat dan dihayati sebagai proses menuju tujuan. Tapi tujuannya itu yang dijadikan prestasi. Jadi, segala cara ditempuhnya. Keinginannya banyak, namun cara yang ditempuh menuju targat itu tidak dijadikan manikam sesungguhnya," kata dia.

Dengan demikian, harapannya pemerintah dan masyarakat luas memiliki pikiran yang arif dan bijak dalam bertindak.

Sehingga, salah satu dampaknya, yakni dapat mendisiplinkan waktu dan juga menggagas menu makanan sehat untuk anak.

Baca juga: Hati-hati, Anak Obesitas Rentan Asma

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com