Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

SpongeBob "Disemprit" KPI, Mengapa Kartun Dianggap Bisa Sangat Pengaruhi Audiens?

Kompas.com - 16/09/2019, 07:25 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Teguran dan sanksi yang diberikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap sejumlah program televisi dan radio kembali menuai perhatian publik.

Pasalnya, di antara 14 program penyiaran yang kena "semprit", salah satunya adalah film kartun yang banyak disukai di Indonesia, khususnya anak-anak, Spongebob.

KPI menyebut terdapat adegan kekerasan dalam beberapa bagian pada tayangan “The Spongebob Squarepants Movie” yang tayang di GTV, 22 Agustus 2019.

Bagaimana film kartun seperti Spongebob dikhawatirkan bisa membawa pengaruh yang kuat bagi audiens yang menontonnya?

Psikolog asal Solo, Jawa Tengah, Hening Widyastuti mengatakan, kekhawatiran itu beralasan.

Film kartun sebagian besar audiensnya adalah balita dan anak-anak usia 1-7 tahun.

Baca juga: Tak Hanya Indonesia, SpongeBob Tuai Banyak Kontroversi di Negara Asalnya

Pada tahap usia ini, seorang anak memiliki kemampuan untuk menyerap informasi dengan sangat baik.

“Pada masa usia ini adalah meng-copy apa adanya apa yang dilihat dan didengar, belum mampu untuk mencerna suatu tindakan yang ditiru itu dampaknya apa positif negatif atau konsekuensinya,” kata Hening, saat dihubungi Kompas.com, Minggu (15/9/2019) malam.

Menurut Hening, proses imitasi kekerasan dari konten film ini bisa benar-benar terjadi, apalagi jika si anak berada pada kondisi emosi tertentu.

“Awalnya senang bahagia, lama-lama ada benturan, ada rasa kesal juga si balita berlanjut ke adegan menyakiti, melukai lawan seperti di film kartun yang dia lihat di layar televisi hingga terjadi accident dari level biasa hingga level yang merugikan anak lain,” papar Hening.

Ketika ditanya mengapa kekhawatiran itu sepertinya semakin besar saat ini jika dibandingkan sekian tahun silam, Hening mengatakan, hal itu karena luasnya medium saat ini dan anak-anak masa kini menerima paparan dari segala bentuk platform media.

Di masa lalu, anak-anak hanya mengakses televisi dan dengan dampingan orangtua.

Baca juga: SpongeBob Squarepants, dari Alat Mengajar jadi Animasi Terlaris

Kini, televisi bukan satu-satunya media hiburan bagi anak-anak.

“Jadi bukan tunggal dari tayangan televisi, akan tetapi banyak stimulus pendukungnya,” kata dia.

Stimulus lain, misalnya, media sosial dan gim yang dapat diakses dengan bebas oleh anak-anak saat ini.

Fenomena ini menuntut pengawasan ekstra, meski hanya sebatas konten pada film kartun.

"Didukung banyak orangtua bekerja dan sibuk urusan keutuhan keluarga serta kepentingan lainnya, asisten rumah tangga lah pada akhirnya mereka temui, dengan pengetahuan dan rasa peduli yang tidak sama dengan orangtua sendiri," kata Hening.

Hening menyarankan, tayangan televisi yang diperuntukkan bagi anak-anak sebaiknya mengandung informasi pengetahuan, juga nilai-nilai dasar kehidupan.

“Sebaiknya mereka dialihkan ke tayangan yang lebih edukasi sifatnya, human, animal, nature, flora-fauna, tentang kebesaran Tuhan, tolong-menolong, saling menghormati-menghargai satu dengan yang lainnya, dan lain-lain,” kata Hening. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Usai Ditekuk Arsenal, Atap Stadion Manchester United Jebol dan Air Membanjiri Lapangan

Usai Ditekuk Arsenal, Atap Stadion Manchester United Jebol dan Air Membanjiri Lapangan

Tren
Venezuela Akan Jadi Negara Pertama yang Kehilangan Gletser, Berikutnya Indonesia

Venezuela Akan Jadi Negara Pertama yang Kehilangan Gletser, Berikutnya Indonesia

Tren
Film Vina: Sebelum 7 Hari Dikritik, Ini Kata Lembaga Sensor Film

Film Vina: Sebelum 7 Hari Dikritik, Ini Kata Lembaga Sensor Film

Tren
4 Dokumen yang Dibawa Saat UTBK SNBT 2024 Gelombang 2, Apa Saja?

4 Dokumen yang Dibawa Saat UTBK SNBT 2024 Gelombang 2, Apa Saja?

Tren
Pj Gubernur Jabar Perketat Pelaksanaan Study Tour, Simak Aturannya

Pj Gubernur Jabar Perketat Pelaksanaan Study Tour, Simak Aturannya

Tren
Kasus Perempuan yang Meninggal usai Cabut Gigi Berlanjut, Suami Akan Laporkan Klinik ke Polisi

Kasus Perempuan yang Meninggal usai Cabut Gigi Berlanjut, Suami Akan Laporkan Klinik ke Polisi

Tren
Daftar 19 Operasi yang Ditanggung BPJS Kesehatan 2024

Daftar 19 Operasi yang Ditanggung BPJS Kesehatan 2024

Tren
Jasa Raharja Beri Santunan untuk Korban Kecelakaan Maut di Subang, Ini Besarannya

Jasa Raharja Beri Santunan untuk Korban Kecelakaan Maut di Subang, Ini Besarannya

Tren
Media Asing Soroti Penampilan Perdana Timnas Sepak Bola Putri Indonesia di Piala Asia U17 2024

Media Asing Soroti Penampilan Perdana Timnas Sepak Bola Putri Indonesia di Piala Asia U17 2024

Tren
Seorang Bocah Berusia 7 Tahun Meninggal Setelah Keracunan Mi Instan di India

Seorang Bocah Berusia 7 Tahun Meninggal Setelah Keracunan Mi Instan di India

Tren
Apa Itu KRIS? Pengganti Kelas BPJS Kesehatan per 30 Juni 2025

Apa Itu KRIS? Pengganti Kelas BPJS Kesehatan per 30 Juni 2025

Tren
Kata Media Asing soal Kecelakaan di Subang, Soroti Buruknya Standar Keselamatan di Indonesia

Kata Media Asing soal Kecelakaan di Subang, Soroti Buruknya Standar Keselamatan di Indonesia

Tren
Pendaftaran STIS 2024 Dibuka 15 Mei, Total 355 Kuota, Lulus Jadi CPNS

Pendaftaran STIS 2024 Dibuka 15 Mei, Total 355 Kuota, Lulus Jadi CPNS

Tren
Mencari Bus Pariwisata yang Layak

Mencari Bus Pariwisata yang Layak

Tren
DNA Langka Ditemukan di Papua Nugini, Disebut Bisa Kebal dari Penyakit

DNA Langka Ditemukan di Papua Nugini, Disebut Bisa Kebal dari Penyakit

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com