Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Riau Dikepung Kabut Asap, Greenpeace: Ini Indikasi Kegagalan Pemerintah

Kompas.com - 13/09/2019, 13:17 WIB
Ariska Puspita Anggraini,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di wilayah Pulau Sumatera dan Kalimantan semakin meluas. Saat ini, Kota Pekanbaru, Riau, diselimuti kabut asap pekat akibat dampak karhutla.

Menurut laporan Kompas.com, Kamis (12/9/2019), kabut asap kian menyebar ke wilayah perbatasan Kalimantan Barat dan Serawak, Malaysia. Selain itu, kondisi ini juga menganggu aktivitas penerbangan pesawat.

Kompas.com, Jumat (13/9/2019), juga melaporkan kabut asap pekat akibat karhutla telah mengepung kota Pekanbaru, Riau hingga pemerintah provinsi (pemprov) setempat mengeluarkan pedoman bersama untuk mengantisipasi dampak kabut asap tersebut.

Pemprov Riau menganjurkan masyarakat setempat untuk tidak beraktivitas di luar rumah atau gedung. Jika terpaksa keluar rumah, harus menggunakan masker dan peralatan pelindung lainnya.

Apabila Indeks Standard Pencemar Udara (ISPU) telah mencapai nilai bahaya, yakni diatas 300, maka masyarakat dilarang total untuk beraktivitas di luar rumah atau gedung.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Rusmadya Maharuddin, menilai imbauan tersebut tidak efektif untuk mengatasi dampak kabut asap.

"Meski masyarakat diminta untuk diam di dalam ruangan atau rumah, kabut masih bisa terhirup apalagi jika rumah atau ruangan tempat mereka tinggal tidak dilengkapi penyaring udara yang bagus," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat (13/9/2019).

Menurutnya, satu-satunya cara efektif untuk menghentikan meluasnya kabut asap ini adalah dengan penegakan hukum.

"Kejadian kebakaran hutan dan lahan ini sudah terjadi berulang, hampir setiap tahun. Hanya kuantitasnya saja yang berbeda-beda," ucapnya.

"Ini merupakan bentuk kegagalan pemerintah, terutama dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum terkait kasus kebakaran hutan dan lahan," tambahnya.

Baca juga: 5 Penyakit yang Perlu Diwaspadai akibat Kabut Asap

Pentingnya penegakan hukum

Menurut Rusmadya, hanya penegakan hukum yang transparan, konsisten dan serius yang efektif untuk mengatasi kasus karhutla ini karena akan menimbulkan efek jera bagi para pelaku.

"Kebakaran ini yang menyebabkan adalah manusia itu sendiri. Dan ini kaitannya dengan perilaku. Jadi, untuk mengatasi perilaku yang merugikan ini caranya dengan penegakan hukum," kata dia.

Bagi Rusmadya, upaya pemerintah dalam mengatasi dampak kebakaran hutan ini dirasa kurang maksimal karena kasus semacam ini tidak pernah menemui titik akhir.

"Kenyataanya, peristiwa ini terjadi setiap tahun. Ini adalah indikasi kegagalan pemerintah dalam kasus ini," ujarnya.

Di sisi lain, masyarakat  tidak dapat menutup mata akan usaha pemerintah untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi melalui pemadaman, pembentukan satgas, water bombing, modifikasi cuaca dan sejenisnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Kucing di China Nyalakan Kompor dan Picu Kebakaran, Dipaksa 'Kerja' untuk Bayar Kerugian

Kucing di China Nyalakan Kompor dan Picu Kebakaran, Dipaksa "Kerja" untuk Bayar Kerugian

Tren
Imbas Gunung Ruang Kembali Erupsi, Bandara Sam Ratulangi Manado Ditutup Sementara hingga Besok

Imbas Gunung Ruang Kembali Erupsi, Bandara Sam Ratulangi Manado Ditutup Sementara hingga Besok

Tren
4 Keputusan Wasit Shen Yinhao yang Dianggap Merugikan Timnas di Laga Indonesia Vs Uzbekistan

4 Keputusan Wasit Shen Yinhao yang Dianggap Merugikan Timnas di Laga Indonesia Vs Uzbekistan

Tren
Kronologi Kecelakaan Motor Harley-Davidson di Probolinggo, Dokter dan Istrinya Jadi Korban

Kronologi Kecelakaan Motor Harley-Davidson di Probolinggo, Dokter dan Istrinya Jadi Korban

Tren
Ramai soal Setop Imunisasi Anak, Apa Dampaknya pada Tubuh Si Kecil?

Ramai soal Setop Imunisasi Anak, Apa Dampaknya pada Tubuh Si Kecil?

Tren
Analogi Shin Tae Yong dan Wibisana

Analogi Shin Tae Yong dan Wibisana

Tren
Indonesia Masih Berpeluang Lolos ke Olimpiade Paris 2024, Ini Skenarionya

Indonesia Masih Berpeluang Lolos ke Olimpiade Paris 2024, Ini Skenarionya

Tren
Indonesia Mulai Memasuki Musim Kemarau, Kapan Puncaknya?

Indonesia Mulai Memasuki Musim Kemarau, Kapan Puncaknya?

Tren
Ilmuwan Pecahkan Misteri 'Kutukan Firaun' yang Tewaskan 20 Orang Saat Membuka Makam Tutankhamun

Ilmuwan Pecahkan Misteri "Kutukan Firaun" yang Tewaskan 20 Orang Saat Membuka Makam Tutankhamun

Tren
3 Keputusan VAR yang Dinilai Rugikan Garuda Muda di Laga Indonesia Vs Uzbekistan

3 Keputusan VAR yang Dinilai Rugikan Garuda Muda di Laga Indonesia Vs Uzbekistan

Tren
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pemerhati Kritisi Persoalan Komunikasi dan Transparansi

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pemerhati Kritisi Persoalan Komunikasi dan Transparansi

Tren
Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Kelapa Muda? Ini Kata Ahli

Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Kelapa Muda? Ini Kata Ahli

Tren
Kata Media Asing soal Kekalahan Indonesia dari Uzbekistan, Soroti Keputusan Kontroversial Wasit

Kata Media Asing soal Kekalahan Indonesia dari Uzbekistan, Soroti Keputusan Kontroversial Wasit

Tren
Pengakuan Guru SLB soal Alat Belajar Tunanetra yang Ditahan Bea Cukai

Pengakuan Guru SLB soal Alat Belajar Tunanetra yang Ditahan Bea Cukai

Tren
Ikan Kembung, Tuna, dan Salmon, Mana yang Lebih Baik untuk MPASI?

Ikan Kembung, Tuna, dan Salmon, Mana yang Lebih Baik untuk MPASI?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com