Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Fenomena Maraknya Warganet Bongkar Kekayaan Pejabat, Apa yang Terjadi?

KOMPAS.com - Belakangan, media sosial kerap disuguhkan dengan unggahan berisi pengungkapan pejabat publik beserta keluarganya yang pamer kemewahan.

Kemewahan yang dipamerkan oleh para pejabat itu disebut tidak sesuai dengan profil dan kekayaan yang dilaporkan di Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Bahkan, pengungkapan pejabat yang bermewah-mewahan ini beberapa kali berujung pada pemberhentian.

Rafael Alun Trisambodo, misalnya, dipecat dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) setelah ditemukan adanya indikasi pelanggaran dalam kekayaannya.

Kasus Rafael ini terkuak setelah warganet ramai-ramai menguak gaya hidup mewah yang kerap dipamerkan keluarganya di media sosial.

Menyusul Rafael, Kepala Bea Cukai Yogyakarta Darmanto juga diberhentikan dari jabatannya setelah kerap memamerkan kekayaan.

Terbaru, Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Timur Sudarman Harjasaputra juga dicopot dari jabatannya setelah warganet mengungkap istrinya yang pamer kekayaan.

Lantas, mengapa fenomena pengungkapan kekayaan pejabat oleh warganet ini marak terjadi?

Akumulasi ketidakpuasan publik

Pakar komunikasi digital Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan melihat, fonemana ini merupakan akumulasi dari rasa ketidakpuasan publik terhadap pejabat atau tokoh politik.

Menurutnya, warganet menemukan momentum seiring pemberitaan kasus penganiayaan Mario Dandy Satrio dan hobi pamer kekayaan keluarganya.

"Rasa tidak puas itu dapat bersumber dari pengalaman langsung, khalayak menerima layanan tokoh politik maupun pejabat, juga sering disingkir-singkirkan saat mereka lewat di jalan raya atau jalan tol," kata Firman kepada Kompas.com, Kamis (23/3/2023).

"Juga rasa tidak puas yang bersumber dari informasi di media sosial," sambungnya.

Ia menjelaskan, fenomena mengorek harta dan gaya hidup mewah ini seakan menjadi sebuah bentuk komunikasi dari publik.

Pasalnya, apa yang disaksikan adalah tontonan kepalsuan kehidupan tokoh politik dan pejabat.

"Tentu saja tidak semuanya berdasar informasi yang valid. Namun, seluruhnya menunjukkan sikap tidak suka yang disebarkan," jelas dia.

Firman menuturkan, fenomena ini harus disikapi dengan hati-hati oleh pemerintah.

Sebab, ketidakpercayaan publik yang luas dapat menyebabkan jalannya pemerintahan tidak berlangsung sesuai rencana.

Kendati demikian, ia mengingatkan bahwa membuka kehidupan pribadi dengan data yang belum tentu valid, bisa bercampur antara mengawasi pejabat dengan memfitnah.

"Ini bukan keadaan yang baik. Menegakkan hukum dengan cara yang ilegal, tidak akan mengahasilkan keadaan yang baik. Justru menimbulkan saling permusuhan yang tidak terkendali," ujarnya.

Sementara itu, sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta Aris Arif Mundayat mengatakan, fenomena ini berawal dari kesenjangan sosial ekonomi yang tinggi.

Dalam konteks pejabat pajak dan bea cukai, ia menyebut isu kesenjangan akan menjadi lebih sensitif.

"Meskipun orang pajak dan bea cukai itu gajinya beda, tetap saja jumlah kekayaan yang dipamerkan tidak wajar," kata Aris saat dihubungi secara terpisah, Kamis.

Hal ini kemudian diperburuk dengan minimnya transparansi pejabat dalam perolehan harta kekayaannya.

Tidak adanya transparansi ini akan berdampak pada munculnya kecurigaan bahwa harta tersebut diperoleh secara tidak wajar.

Sayangnya, lembaga yang seharusnya menyelidiki perolehan harta tidak wajar itu bekerja kurang maksimal.

"Misalnya, KPK tidak segera melakukan tindakan. Jadi ketika di dalam situasi transparansi lemah, akuntabilitas lenah, maka yang bekerja adalah warganet," jelasnya.

"Karena memang orang mencari data kekayaan dalam LHKPN kan mudah. Tapi, ketika orang membandingkan apa yang dipamerkan dan dicatat di LHKPN itu tidak sesuai, kecurigaan kan akan muncul," tambahnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/03/23/201000565/fenomena-maraknya-warganet-bongkar-kekayaan-pejabat-apa-yang-terjadi-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke