Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Meikarta dan Konsumen, Bermula Iklan Berujung Gugatan

Para tergugat juga diminta menuliskan surat resmi kepada Bank Nobu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) maupun pihak lain yang telah didatangi para tergugat, dengan menyatakan bahwa yang disampaikan para tergugat adalah tuduhan tidak benar.

Tulisan ini mencoba mencermati apa yang menjadi persolan komunikasi pada kasus itu: terkait reputasi atau nama baik. Mengapa kemudian jalur hukum menjadi alasan sebuah perusahaan untuk mengganjar para konsumen yang dianggap merusak nama baik?

Kemampuan menentukan persoalan menjadi penting. Dalam banyak kasus pendekatan hukum seringkali digunakan pada persoalan komunikasi karena dianggap akan memberikan efek jera.

Padahal yang terjadi justru kontraproduktif dengan harapan perusahaan. Perusahaan memberi alasan, ketika publik mendengar nama perusahaan, mereka sering membentuk asosiasi secepat kilat dengan apa yang telah dilakukan di masa lalu, kini, dan masa datang. Karena itu nama baik peru dijaga dan dipelihara.

Bisa dipahami, tetapi bukan dengan serta merta menggeser persoalan nama baik jadi perkara hukum. Mengingat nama baik tidak datang dengan sendirinya. Ada proses yang panjang, berjenjang dan menantang. Berpadu antara sejumlah komponen yang kompleks hingga pada akhirnya ‘mentereng’ di kepala publik sebagai reputasi baik.

Kisruh yang terjadi antara Meikarta dan pelanggannya bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba dan baru mengemuka. Kisruh sudah sejak tahun 2018.

Dalam perjalanannya, kisruh berangkat dari isu internal menjadi sebuah krisis yang menyeruak secara eksternal. Mulai dari tahap kemunculan (emerging), beranjak menjadi perhatian pihak eksternal (public), diwarnai sengkarut kasus rasuah yang melibatkan para pengambil kebijakan seperti anggota parlemen maupun eksekutf (pemerintah darah). Hal itu menciptakan reputasi yang buruk bagi perusahaan.

Kasus tidak hanya telah menyebabkan konsekuensi hukum antar pihak, tetapi secara natural menjadi krisis komunikasi dalam waktu yang relatif lama. Hal ini terjadi karena hubungan antara perusahaan dan konsumen alih-alih menjadi teman (partnership), yang timbul justru sebagai lawan (competitor).

Gugatan yang disampaikan PT MSU terhadap konsumennya menunjukan proses yang berlangsung pada posisi berhadap-hadapan (vis a vis). Telah tumbuh saling curiga, saling tuduh, saling gugat (hukum), saling hujat (komunikasi) hingga pada akhirnya saling bertarung di pengadilan untuk menjatuhkan satu sama lain (zero-sum game).

Masing-masing pihak bukan lagi saling memberi manfaat demi menghasilkan solusi terbaik. Konflik memang seringkali menawarkan jebakan dan kebuntuan dalam berkomunikasi satu dengan yang lainnya.

Nilai proyek Meikarta tercatat sebesar Rp 278 triliun, menempati lahan seluas 500 hektare di daerah Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Untuk memastikan bahwa proyek tersebut berjalan baik maka dilakukan serangkaian strategi marketing dan komunikasi yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Kala itu, Grup Lippo (yang menaungi proyek Meikarta) gencar melakukan promosi serta publikasi di hampir semua media massa. Bukan tanpa alasan para konsumen membeli dan FOMO (fear of missing out/semacam rasa takut tidak kebagian) unit yang di jual Meikarta, ihwalnya sebagian besar karena terpapar promosi dan strategi komunikasi yang dilakukan Meikarta.

Berdasarkan data lembaga riset pemasaran Nielsen, sepanjang tahun 2017 belanja iklan Meikarta mencapai Rp 1,5 triliun. Ini menjadi nilai yang tidak pernah dilihat sebelumnya oleh Nielsen untuk sektor properti. Iklannya memenuhi halaman koran, jam tayang televisi, hingga media sosial.

Iklan berjudul “Aku Ingin Pindah ke Meikarta” diracik dengan alur cerita menggambarkan seorang anak kecil yang di duduk dalam mobil, menyaksikan lingkungan yang tidak ramah dan mengancam. Mobil tersebut berjalan kemudian masuk ke dalam terowongan gelap, lalu muncul di sisi lain sebuah kota yang modern, aman dengan transportasi yang terkoneksi.

Kepercayaan memiliki tiga komponen utama yakni pihak yang dipercaya, pihak yang memercayai, dan tindakan yang diharapkan dilakukan oleh pihak yang dipercaya. Itu dibangun dengan menciptakan hubungan yang nyata tetapi didefinisikan secara sempit.

Kepercayaan, kesediaan kita untuk secara sukarela menerima tindakan orang lain karena yakin mereka memiliki niat yang tulus dan akan berperilaku baik terhadap kita. Dengan kata lain, kita membiarkan orang lain menguasai, karena kita pikir mereka tidak akan menyakiti dan justru akan membantu.

Sandra J Sucher, profesor manajemen dari Harvard Business School dan penulis The Power of Trust: How Companies Build It, Lose It, and Regain It (Public Affairs 2021) menjelaskan, ketika memutuskan untuk berinteraksi dengan sebuah perusahaan, stakeholders yakin perusahaan itu tidak akan menipu atau menyalahgunakan hubungannya.

Namun, kepercayaan adalah pedang bermata dua. Kesediaan kita untuk sukarela juga berarti kepercayaan kita bisa dikhianati. Berulang kali, bisnis telah mengkhianati kepercayaan pemangku kepentingan.

Perusahaan tidak dapat membangun kepercayaan kecuali mereka memahami janji mendasar yang mereka buat kepada pemangku kepentingan. Perusahaan memiliki tiga jenis tanggung jawab.

Pertama secara ekonomi, orang mengandalkan perusahaan untuk memberikan nilai. Kedua, secara hukum, orang mengharapkan perusahaan untuk mengikuti tidak hanya surat hukum tetapi juga semangatnya. Ketiga secara etis, orang ingin perusahaan mengejar tujuan moral, melalui sarana moral, dan untuk motif moral.

Membangun hubungan yang positif dan produktif dengan konsumen penting dilakukan perusahaan agar tercipta saling pengertian untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkesinambungan (costumer relations).

Apa yang terjadi di Meikarta menunjukan proses costumer relations berjalan ‘tidak lazim’ dan bertolak belakang dengan semangat yang diharapkan. Untuk menentukan apakah perusahan melakukan hal yang benar terhadap pemangku kepentingan, harus memeriksa motivasi mereka sendiri dengan mengajukan tiga pertanyaan mendasar:

  1.  Apakah kita melakukan hal yang benar? 
  2. Atas nama siapa kita bertindak?
  3. Apakah tindakan kita benar-benar bermanfaat bagi mereka yang mempercayai kita?

Ditegaskan kembali oleh studi tahun 2011 yang dilakukan Jason Colquitt dan Jessica Rodell, bahwa aspek terpenting untuk mengembangkan kepercayaan yang kuat, perusahaan perlu memahami dan mengukur empat jenis keadilan.

Keadilan prosedural, apakah proses yang baik telah berdasarkan data yang akurat. Digunakan untuk membuat keputusan dan diterapkan secara konsisten, dan apakah pemangku kepentingan diberi kesempatan dalam keputusan yang memengaruhi mereka.

Keadilan distributif, bagaimana sumber daya (seperti gaji dan promosi) atau pain point (seperti PHK/pemutusan hubungan kerja) dialokasikan.

Keadilan interpersonal, seberapa baik pemangku kepentingan diperlakukan.

Terakhir, keadilan informasional, apakah komunikasi dilakukan dengan jujur dan jelas.

Perseteruan yang terjadi karena sejak awal telah terjadi pelanggaran terhadap kepercayaan (distrust), apa yang di promosikan tidak seperti apa yang di dapatkan. Antara raga dan rupa jauh berbeda. Karena itu, berhati-hatilah mengelola nama baik dan kepercayaan.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/02/02/145715665/meikarta-dan-konsumen-bermula-iklan-berujung-gugatan

Terkini Lainnya

BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 12-13 Mei 2024

BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 12-13 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 11-12 Mei | Peserta BPJS Kesehatan Bisa Berobat Hanya dengan KTP

[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 11-12 Mei | Peserta BPJS Kesehatan Bisa Berobat Hanya dengan KTP

Tren
Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Tren
Warganet Pertanyakan Mengapa Aurora Tak Muncul di Langit Indonesia, Ini Penjelasan BRIN

Warganet Pertanyakan Mengapa Aurora Tak Muncul di Langit Indonesia, Ini Penjelasan BRIN

Tren
Saya Bukan Otak

Saya Bukan Otak

Tren
Pentingnya “Me Time” untuk Kesehatan Mental dan Ciri Anda Membutuhkannya

Pentingnya “Me Time” untuk Kesehatan Mental dan Ciri Anda Membutuhkannya

Tren
Bus Pariwisata Kecelakaan di Kawasan Ciater, Polisi: Ada 2 Korban Jiwa

Bus Pariwisata Kecelakaan di Kawasan Ciater, Polisi: Ada 2 Korban Jiwa

Tren
8 Misteri di Piramida Agung Giza, Ruang Tersembunyi dan Efek Suara Menakutkan

8 Misteri di Piramida Agung Giza, Ruang Tersembunyi dan Efek Suara Menakutkan

Tren
Mengenal Apa Itu Eksoplanet? Berikut Pengertian dan Jenis-jenisnya

Mengenal Apa Itu Eksoplanet? Berikut Pengertian dan Jenis-jenisnya

Tren
Indonesia U20 Akan Berlaga di Toulon Cup 2024, Ini Sejarah Turnamennya

Indonesia U20 Akan Berlaga di Toulon Cup 2024, Ini Sejarah Turnamennya

Tren
7 Efek Samping Minum Susu di Malam Hari yang Jarang Diketahui, Apa Saja?

7 Efek Samping Minum Susu di Malam Hari yang Jarang Diketahui, Apa Saja?

Tren
Video Viral, Pengendara Motor Kesulitan Isi BBM di SPBU 'Self Service', Bagaimana Solusinya?

Video Viral, Pengendara Motor Kesulitan Isi BBM di SPBU "Self Service", Bagaimana Solusinya?

Tren
Pedang Excalibur Berumur 1.000 Tahun Ditemukan, Diduga dari Era Kejayaan Islam di Spanyol

Pedang Excalibur Berumur 1.000 Tahun Ditemukan, Diduga dari Era Kejayaan Islam di Spanyol

Tren
Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia Sepanjang 2024 Usai Gagal Olimpiade

Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia Sepanjang 2024 Usai Gagal Olimpiade

Tren
6 Manfaat Minum Wedang Jahe Lemon Menurut Sains, Apa Saja?

6 Manfaat Minum Wedang Jahe Lemon Menurut Sains, Apa Saja?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke