Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pro-Kontra Anugerah Nobel

Nisbi

Kenisbian memang melekat pada penghargaan. Terhadap hal yang tidak bisa diukur, maka MURI membatasi diri hanya memberikan anugerah bagi kepalingan yang bisa diukur.

Semisal paling panjang, paling pendek, paling besar, paling kecil, paling ringan, paling berat, paling cepat, paling lambat serta paling pertama.

Maka rekor MURI untuk Bung Karno sebagai presiden pertama Republik Indonesia atau Ibu Mega sebagai perempuan pertama yang menjadi presiden Republik Indonesia atau Mbak Puan sebagai perempuan pertama berperan sebagai Ketua Umum Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia kekal abadi sampai akhir jaman.

Kecuali ada yang mampu dan mau membuktikan ada yang lebih pertama.

Mahakarya

Pada hakikatnya sifat anugerah MURI dan Nobel beda dalam hal kaidah ukuran.

Beda dari MURI, sifat anugerah Nobel justru terbatas pada hal yang nisbi akibat tidak bisa diukur seperti mahakarya sains mau pun sastra disusul dengan politik dengan kedok istilah “perdamaian”.

Maka dua perihal melekat pada anugerah Nobel. Pertama pasti rawan menimbulkan pro dan kontra.

Mahakarya sains mustahil dikatakan bahwa mahakarya sains yang ini lebih hebat, maka lebih layak ketimbang mahakarya sains yang itu memperoleh anugerah Nobel.

Kenisbian juga melekat pada anugerah Nobel untuk sastra. Akibat kesadaran terhadap kenisbian tersebut, maka Jean Paul Sartre menolak anugerah Nobel untuk dirinya sendiri.

Ibu Teresa juga semula menolak anugerah Nobel, namun setelah dirayu berbagai pihak demi mendongkrak citra kemanusiaan yang memang sudah merosot di planet bumi ini, maka akhirnya dengan berat hati beliau menerima.

Sementara Pramudya Ananta Toer batal memperoleh anugerah Nobel akibat penguasa Orba di Indonesia protes keras jika tokoh yang dicap komunis ini sampai memperoleh anugerah Nobel.

Secara subyektif saya tidak setuju Aung San Suu Kyi dan Barrack Obama memperoleh anugerah Nobel apalagi untuk perdamaian.

Alasannya tentu saja subyektif, maka pasti ditentang oleh pendapat subyektif para pemuja ASSK dan BO.

Akibat pendapat niscaya terkait selera, maka berdebat tentang selera mana yang terbaik sama muskilnya dengan pertanyaan tentang agama mana yang terbaik. Jawabannya pasti subyektif.

Kehendak Yang Maha Kuasa

Perihal ke dua yang melekat pada anugerah Nobel adalah faktor keberuntungan yang bagi mereka yang percaya Yang Maha Kuasa disebut sebagai Kehendak Yang Maha Kuasa.

Suka tak suka, apa boleh buat diakaui-tak-diakui faktor keberuntungan memang mutlak hadir pada anugerah Nobel.

Secara aritmatis beraroma teori probabiltas mudah dibayangkan betapa banyak jumlah mahakarya sains dan sastra setiap saat diciptakan oleh umat manusia di marcapada yang kini jumlahnya makin mendekati angka puluhan milliar.

Sementara belum dan semoga jangan ada komputer atau robot yang berhak sebagai otoritas mengukur mahakarya sains dan sastra yang ini lebih hebat, lebih keren, lebih berguna, lebih berharga ketimbang mahakarya sains atau sastra yang itu, maka lebih layak memperoleh anugerah Nobel ketimbang mahakarya sains atau sastra atau perdamaian atau entah apa namanya yang lain.

Apalagi nyaris mustahil ada anggota dewan juri Nobel tahu-menahu sebab kenal maka pernah membaca sebuah mahakarya sastra yang ditulis dalam bahasa Baduy oleh seorang mahasastrawan Baduy.

Akibat tak kenal, maka tak sayang maka sampai masa kini tidak ada pula anggota dewan juri Anugerah Nobel menomininasikan seorang mahasastrawan Baduy untuk memperoleh Anugerah Nobel.

Menurut pendapat saya, para ilmuwan hebat Indonesia yang mengembangkan terapi stem cell layak memperoleh anugerah Nobel. Namun sayang saya bukan anggota dewan juri Anugerah Nobel.

Para pejuang kemanusiaan Indonesia yang gigih membela hak asasi rakyat miskin dan masyarakat adat juga layak memperoleh Anugerah Nobel.

Prof DR BJ Habibie sangat pantas menerima anugerah Nobel untuk mahakarya teori keretakan pada pesawat terbang yang telah menyelamatkan jutaan nyawa penumpang pesawat terbang.

Memang pada kenyataan sebenarnya cukup banyak putra-putra terbaik Indonesia sangat amat layak menerima anugerah Nobel untuk bidang keahlian masing-masing.

Namun belum terdeteksi oleh dewan juri Nobel.

Doa

Saya memprakarasi Anugerah Mahakarya Kebudayaan yang dianugerahkan kepada putra-putri terbaik Indonesia yang berjaya menciptakan mahakarya dalam bidang keahlian masing-masing, namun belum terdeteksi oleh dewan juri Nobel.

Di samping itu dengan penuh kerendahan hati, saya bersujud demi memberanikan diri memanjatkan doa permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar berkenan bermurah hati mengetuk sanubari dan otak para anggota dewan juri Nobel untuk akhirnya sudi menganugerahkan penghargaan Nobel kepada seorang warga Indonesia. Amin.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/01/10/100803465/pro-kontra-anugerah-nobel

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke