Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Penghapusan Mural oleh Aparat, Bagaimana Negara Menyikapi Kritik di Ruang Publik?

KOMPAS.com - "Dipaksa sehat di Negara yang Sakit"

Kalimat tersebut terpampang pada karya mural yang dilukis di sebidang dinding rumah warga di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

Bersama kalimat tersebut, sang seniman juga turut melukis gambar dua karakter binatang dengan latar belakang berwarna cerah, yang menarik perhatian setiap orang yang melintas.

Mural yang kemudian viral di media sosial itu akhirnya dihapus oleh pihak berwenang di daerah tersebut.

Selain dianggap melanggar aturan mengenai ketertiban lingkungan, kalimat yang terdapat pada karya seni tersebut juga dinilai bernada provokatif serta menghasut oleh pihak berwenang.

Demikian penjelasan dari Kepala Satpol PP Kabupaten Pasuruan Bakti Jati Permana mengenai alasan penghapusan mural itu.

"Mural tersebut nadanya kalau kami mengartikannya dapat dikatakan kritis, cuma kan multi tafsir. Kalau kami mengartikan provokasi juga, menghasut lah," kata Bakti, seperti diberitakan Kompas.com, 13 Agustus 2021.

"Sekarang kalau misalnya bahasanya 'dipaksa sehat di negara sakit' Apakah memang negara kita sakit? Kan jadi pertanyaan juga," katanya lagi.

404: Not Found

Tak hanya mural di Pasuruan, beberapa waktu lalu juga sempat viral mural "404: Not Found" dengan gambar wajah seseorang yang dianggap mirip Presiden Joko Widodo.

Mural tersebut tergambar di sebuah dinding di kawasan Batujaya, Batuceper, Kota Tangerang, Banten.

Sama seperti nasib mural "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit", mural "404: Not Found" pada akhirnya juga dihapus oleh pihak berwenang setempat dan TNI-Polri.

Kasubbag Humas Polres Tangerang Kota Kompol Abdul Rachim, menjelaskan, penghapusan mural "404: Not Found" dilakukan dengan alasan bahwa mural tersebut melecehkan Presiden, yang oleh aparat dianggap sebagai lambang negara.

Tak hanya dihapus, aparat juga menyelidiki sosok yang bertanggungjawab membuat mural tersebut.

"Tetap diselidiki itu perbuatan siapa. Karena bagaimanapun itu kan lambang negara, harus dihormati," kata Abdul Rachim, seperti diberitakan Tribun News, 13 Agustus 2021.

Ungkapan ketidakberdayaan masyarakat

Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono menjelaskan, selain sebagai sebuah karya seni, mural juga dapat dikategorikan sebagai gerakan sosial baru atau new social movement.

"Di dalam new social movement itu, artikulasi-artikulasi kepentingan-kepentingan politik atau juga pandangan-pandangan politik terhadap negara dan sebagainya, itu bisa dimuarakan melalui seni," kata Drajat, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (14/8/2021).

Menurut Drajat, karya seni yang tergolong sebagai new social movement dapat ditemukan pada lagu, gambar, puisi, dan lain sebagainya.

Ia mengatakan, new social movement ini berbeda dengan gerakan-gerakan kolektif masyarakat yang bersifat "mendobrak" seperti demonstrasi, tetapi lebih cenderung menekankan pada perubahan-perubahan pengetahuan dan pola pikir masyarakat.

"Sehingga ini (karya seni) menjadi semacam alternatif lah, untuk menyampaikan berbagai pesan. Di situ ada pesan yang ingin disampaikan pada kelompok tertentu," kata Drajat.

Menanggapi fenomena maraknya mural bernada kritis yang bermunculan di berbagai daerah, Drajat mengatakan, karya-karya tersebut tidak akan muncul apabila tidak ada masalah.

"Karena ada masalah, dan masalah itu tak terselesaikan dalam waktu cukup lama, misalnya PPKM dan sebagainya, maka kemudian masyarakat itu perlu saluran komunikasi," ujar Drajat.

"Nah, saluran komunikasinya itu berbeda-beda. Kalau seniman ya lewat karya seni," imbuh dia.

Drajat mengatakan, penyikapan pihak berwenang yang jauh dari kesan membuka ruang dialog, tetapi justru terkesan represif dengan langsung menghapus mural-mural bernada kritis dan memburu seniman pembuatnya adalah hal yang tidak tepat.

"Karena, melalui mural itu pemerintah mendapatkan informasi tentang ekspresi perasaan dari masyarakat, karena itu mewakili masyarakat. Kalau itu kemudian direpresi, itu akan kelihatan sekali bagaimana negara ini secara pelan-pelan menjadi kekuatan yang dominatif, kekuatan yang represif, yang bahkan seni aja ditakuti," jelas Drajat.

"Kalau kemudian itu ditutup begitu saja, misalnya dihapus atau orangnya (seniman) 'dipegang' itu bukannya malah kemudian berhenti ya. Ini malah menjadi ide, menjadi gagasan untuk mural baru, lagu baru. Seperti lagu-lagu Iwan Fals dulu waktu zaman Orde Baru. Semakin ditekan ya semakin keluar," katanya lagi.

"Pemerintah itu kalau sudah terlalu panik biasanya dibredel. Mulai dari gerakan sampai seni pun juga. (Pemerintah) harus hati-hati, kalau enggak malah memukul pemerintah sendiri," imbuh dia.

Kritik di ruang publik itu sah

Terpisah, Dosen Pendidikan Seni Rupa FKIP UNS Figur Rahman Fuad mengatakan, ekspresi-ekspresi seni di ruang publik, termasuk mural-mural bernada kritis yang akhirnya dihapus itu, adalah hak setiap orang.

"Itu kan sebetulnya orang ingin berpendapat. Gampangnya begitu, dan caranya itu macam-macam. Ada teman-teman, anak-anak muda terutama, yang media ekspresinya di ruang publik dengan kemampuan mereka di bidang seni rupa, membuat mural, dan sebagainya itu, menurut saya ya boleh-boleh saja," kata Figur, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (14/8/2021).

Figur mengatakan, permasalahan mural maupun bentuk ekspresi seni lainnya di ruang publik, semestinya tidak hanya dipandang dari aspek legalitas, seperti izin, tetapi sebagai ekspresi masyarakat yang seharusnya direspons dengan dialog.

Ia mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan penutupan mural yang dilakukan oleh pihak berwenang. Karena menurutnya, itu adalah hal yang biasa dialami oleh seniman mural.

"Yang saya enggak setuju itu kalau diburu, dianggap kriminal, itu udah enggak pas kalau dibawa ke ranah hukum seperti itu, seperti bandit lah ibaratnya," ujar Figur.

"Padahal itu kan awal mulanya hanya eksresi, gagasan. Semestinya ditanggapi dengan gagasan juga," lanjut dia.

Figur mengatakan, jangan sampai kemudian masyarakat menganggap bentuk-bentuk ekspresi seni di ruang publik, seperti mural, sebagai tindakan kriminal, karena respons aparat yang demikian.

Selain dianggap provokatif, salah satu hal yang kemudian menjadi alasan penghapusan mural-mural itu adalah status legalitas atau izin untuk membuat mural di ruang publik.

Mengenai permasalahan legalitas mural di ruang publik, Figur mengatakan, sebaiknya masyarakat mencoba untuk melihat permasalahan tersebut dari perspektif lain.

"Misalnya sekarang juga musim baliho (politik) dan sebagainya. Itu legal dan sah, sudah ada izinnya. Masalahnya, itu juga ruang publik. Banyak kok yang merasa terganggu, enggak etis," kata Figur.

"Sekarang kita bicara masalah etis apa enggak sih. Kita ukur lah, etis atau enggak menyuarakan pendapat yang merupakan suara masyarakat di ruang publik? Ya menurut saya sangat etis, apalagi memang sekarang keadaannya seperti ini, dan banyak masyarakat yang sebetulnya merasa diwakili oleh karya-karya seperti itu," lanjut dia.

"Sekarang kita tanya sebaliknya. Etis atau enggak di saat seperti ini para pejabat, elit partai, menyebar baliho itu? Legal, tapi enggak etis sama sekali," imbuh dia.

Jangan berhenti berkarya

Sementara itu, seniman mural asal Cirebon Jawa Barat Yuan Alfasa mengatakan, mural sebagai sebuah karya seni memiliki kekuatan besar.

Menurut Biggy, begitu ia biasa disapa, mural memiliki kekuatan besar, baik sebagai alat untuk melancarkan kritik terhadap keadaan, maupun untuk menyadarkan publik.

"Sangat efektif. Karena di publik kita (seniman) dihadapkan dengan berbagai segmen. Biasanya kemasan-kemasan karya di jalanan, di ruang publik itu memang ringan sekali. Maksudnya gampang ditangkap," kata Biggy, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (14/8/2021).

Menurut Biggy, tindakan aparat menutup atau menghapus mural-mural bernada kritis di berbagai daerah justru menjadikan karya tersebut berhasil mencapai tujuannya.

"Si karya berhasil. Kita mendapatkan atensi-atensi dari pihak yang berwajib. Langsung ditutup itu kan artinya pihak-pihak yang berwenang itu tahu apa yang sedang terjadi, realitanya seperti itu. Kalau menurutku berhasil sih dengan karyanya dihapus. Tersampaikan lah," ujar Biggy.

Kendati demikian, ia juga tak menampik bahwa penutupan sepihak mural-mural bernada kritis di berbagai daerah oleh pihak berwenang tanpa didahului oleh terciptanya ruang dialog juga merupakan sebuah sinyal bahaya.

Ia menilai, hal tersebut menandakan bahwa ruang-ruang publik tempat masyarakat bisa mengkespresikan pendapatnya justru semakin direduksi oleh pemerintah.

Namun menurut Biggy, hal-hal semacam itu semestinya tidak menyurutkan semangat para seniman yang berkecimpung di bidang mural.

"Spirit-spirit si street artist (seniman jalanan) ini jangan sampai hilang. Justru kasarnya harus semakin 'membangkang'. Walaupun misalkan tertangkap satu masih ada seribu artist lain kok yang harus bisa lebih bersuara lagi," kata Biggy.

Ia mengatakan, tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh aparat terhadap karya-karya seni yang hadir di ruang publik justru akan semakin menyadarkan masyarakat bahwa saat ini mereka tengah "dibungkam".

"Bahwa ini semakin jelas kok. Bahwa kita semakin tidak baik-baik saja, dan kita mencoba mencari solusinya bersama-sama. Yang sekarang dibutuhkan adalah spiritnya. Ya kenekatan orang-orang terhadap kondisi negara saat ini," ujar Biggy.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/08/18/073000165/penghapusan-mural-oleh-aparat-bagaimana-negara-menyikapi-kritik-di-ruang

Terkini Lainnya

BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 12-13 Mei 2024

BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 12-13 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 11-12 Mei | Peserta BPJS Kesehatan Bisa Berobat Hanya dengan KTP

[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 11-12 Mei | Peserta BPJS Kesehatan Bisa Berobat Hanya dengan KTP

Tren
Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Tren
Warganet Pertanyakan Mengapa Aurora Tak Muncul di Langit Indonesia, Ini Penjelasan BRIN

Warganet Pertanyakan Mengapa Aurora Tak Muncul di Langit Indonesia, Ini Penjelasan BRIN

Tren
Saya Bukan Otak

Saya Bukan Otak

Tren
Pentingnya “Me Time” untuk Kesehatan Mental dan Ciri Anda Membutuhkannya

Pentingnya “Me Time” untuk Kesehatan Mental dan Ciri Anda Membutuhkannya

Tren
Bus Pariwisata Kecelakaan di Kawasan Ciater, Polisi: Ada 2 Korban Jiwa

Bus Pariwisata Kecelakaan di Kawasan Ciater, Polisi: Ada 2 Korban Jiwa

Tren
8 Misteri di Piramida Agung Giza, Ruang Tersembunyi dan Efek Suara Menakutkan

8 Misteri di Piramida Agung Giza, Ruang Tersembunyi dan Efek Suara Menakutkan

Tren
Mengenal Apa Itu Eksoplanet? Berikut Pengertian dan Jenis-jenisnya

Mengenal Apa Itu Eksoplanet? Berikut Pengertian dan Jenis-jenisnya

Tren
Indonesia U20 Akan Berlaga di Toulon Cup 2024, Ini Sejarah Turnamennya

Indonesia U20 Akan Berlaga di Toulon Cup 2024, Ini Sejarah Turnamennya

Tren
7 Efek Samping Minum Susu di Malam Hari yang Jarang Diketahui, Apa Saja?

7 Efek Samping Minum Susu di Malam Hari yang Jarang Diketahui, Apa Saja?

Tren
Video Viral, Pengendara Motor Kesulitan Isi BBM di SPBU 'Self Service', Bagaimana Solusinya?

Video Viral, Pengendara Motor Kesulitan Isi BBM di SPBU "Self Service", Bagaimana Solusinya?

Tren
Pedang Excalibur Berumur 1.000 Tahun Ditemukan, Diduga dari Era Kejayaan Islam di Spanyol

Pedang Excalibur Berumur 1.000 Tahun Ditemukan, Diduga dari Era Kejayaan Islam di Spanyol

Tren
Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia Sepanjang 2024 Usai Gagal Olimpiade

Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia Sepanjang 2024 Usai Gagal Olimpiade

Tren
6 Manfaat Minum Wedang Jahe Lemon Menurut Sains, Apa Saja?

6 Manfaat Minum Wedang Jahe Lemon Menurut Sains, Apa Saja?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke