Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jokowi Klaim Kasus Covid-19 di Indonesia Menurun, Benarkah Demikian?

KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan rasa syukurnya karena kasus Covid-19 di Indonesia mengalami penurunan.

Mengutip Kompas.com, Jumat (26/3/2021) Jokowi membandingkan penurunan kasus Covid-19 harian di Indonesia, dengan grafik kasus Covid-19 di negara lain.

Jokowi menyebut, di India, kasus Covid-19 harian mencapai 59.000 kasus, sedangkan di Brasil, kasus Covid-19 harian meningkat menjadi 90.500 kasus.

Sementara di Amerika Serikat, angka kasus Covid-19 harian tercatat mencapai 66.000 kasus.

"Kita alhamdulillah, di Januari kita pernah berada di angka 13.000 kasus harian, 14.000, bahkan pernah 15.000. Sekarang kita sudah turun dan berada di angka 5.000, 6.000, dan akan terus kita turunkan," kata Jokowi.

Lantas, benarkah kasus Covid-19 harian di Indonesia mengalami penurunan? 

Epidemiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Tonang Dwi Ardyanto mengatakan, belum bisa dipastikan apakah saat ini kasus Covid-19 harian di Indonesia benar-benar mengalami penurunan.

Menurut Tonang, alasannya adalah jumlah testing yang dilakukan dengan benar masih kurang.

"Mungkin benar turun, mungkin sebenarnya tidak turun. Sama-sama tidak bisa dipastikan," kata Tonang saat dihubungi Kompas.com, Jumat (26/3/2021).

Dia mengatakan, dalam hal penambahan kasus harian baru, Indonesia pernah mencatatkan angka yang lebih rendah, yakni pada periode Oktober-November 2020.

Kendati demikian, Tonang menyebut, grafik kasus pada saat itu tidak bisa dijadikan patokan untuk mengukur situasi kasus Covid-19 saat ini, karena jumlah testing yang belum mencapai standar.

"Angka waktu itu pun belum bisa dijadikan patokan. Secara rata-rata bulanan, kita mencapai standar minimal baru pada bulan Januari 2021," kata Tonang.

Kondisi testing di Indonesia

Menurut Tonang, dalam melihat penurunan kasus Covid-19 harian di Indonesia saat ini, yang perlu diperhatikan adalah jumlah testing yang dilakukan dengan benar.

"Secara tercatat, per 14 Maret 2021, benar memang memenuhi, tapi dengan catatan. Lonjakan itu terjadi sejak mulai dimasukkannya tes antigen ke dalam perhitungan," kata dia.

Tonang mengatakan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memang memperbolehkan penggunaan tes antigen untuk mengonfirmasi kasus, tetapi ada syaratnya, yaitu dibolehkan dalam keadaan memang tidak memungkinkan dilakukan tes PCR.

"Maka ada 3 area. Di area A, semua harus PCR, tidak boleh tes antigen. Di area B, hasil antigen positif langsung dinyatakan positif, tapi kalau negatif harus dikonfirmasi dengan PCR. Di area C, kalau antigen positif langsung positif, tapi kalau negatif harus diulang lagi sampai 2 kali tes antigen negatif," ujar Tonang.

"Jadi yang sudah dapat disebut kasus itu, hanya bila ada tes antigen positif di area B dan area C. Tes antigen negatif, harus ada konfirmasi ulang dengan PCR atau tes antigen dulu," katanya melanjutkan.

Distraksi tes antigen

Dengan berpatokan pada kaidah tersebut, menurut Tonang, pemeriksaan tes antigen untuk diagnostik seharusnya tidak banyak.

Namun, saat ini rata-rata jumlah pemeriksaan tes antigen itu dari sepertiga sampai dua-pertiga jumlah pemeriksaan PCR harian. 

"Repotnya, hasil tes antigen negatif, ikut dihitung langsung sebagai kasus. Padahal yang tes antigen negatif itu baru bisa dihitung sebagai kasus bila sudah dikonfirmasi PCR (area B), atau diulang dengan antigen di area C," kata Tonang.

"Apa iya sebegitu banyak tes antigen itu semua di area C sehingga yang negatif langsung tegak diagnosis negatif?" imbuhnya.

Menurut Tonang, akibat ketidaksesuian kaidah penggunaan tes antigen untuk diagnosis, yang terjadi adalah perhitungan jumlah pemeriksaan per hari melonjak tinggi.

Padahal sebenarnya masih lebih rendah daripada jumlah pemeriksaan yang dilakukan pada periode Oktober-November 2021.

"Artinya, penurunan kasus saat ini sebenarnya masih di bawah bulan Oktober-November dengan jumlah pemeriksaan yang lebih rendah," kata Tonang.

Perlu disikapi dengan hati-hati

Sementara itu, epidemiolog dari Griffth University Australia Dicky Budiman mengatakan, penurunan kasus Covid-19 harian di Indonesia perlu disikapi dengan hati-hati.

Dia menilai, meski terjadi penurunan kasus harian, namun tidak serta-merta bisa disebut bahwa Indonesia telah melewati puncak pandemi Covid-19.

"Negara dengan cakupan testing yang luar biasa pun, mereka sangat hati-hati. Karena itu umumnya diketahui setidaknya dua minggu sejak puncak itu terlewati," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Jumat (26/3/2021).

"Jadi ada tren yang sangat menurun, signifikan, yang harusnya ditandai dengan test positivity rate yang setidaknya di bawah delapan persen secara berturut-turut dalam dua minggu, yang menandakan testing, tracing-nya itu memadai," imbuhnya.

Menilik situasi Indonesia saat ini, dengan test positivity rate yang berada di atas 10 persen, menurut Dicky tidak tepat jika Indonesia dikatakan telah melewati pandemi.

"Karena menandakan testing kita, tracing kita, itu tidak memadai. Kita tidak bisa memprediksi. Jauh lebih banyak kasus infeksi di masyarakat, yang tidak terdeteksi," kata Dicky.

Menurut Dicky, implementasi strategi utama pengendalian pandemi, yakni 3T (test, trace, dan treat) di Indonesia sejauh ini, selalu stabil pada taraf rendah.

"Secara testing saja, kita akan bisa melihat bahwa harusnya 5.000 kasus positif Indonesia, itu besoknya ada 100.000 testing terhadap kasus kontaknya. Itu yang harus terjadi dalam logika program pengendalian," kata Dicky.

"Sehingga kalau itu dilakukan terus-menerus, konsisten, setidaknya dua minggu atau satu bulan, kita akan bisa cukup confident untuk mengatakan 'Kita sudah mencapai puncak', ini tricky-nya di sini," kata Dicky.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/26/194400265/jokowi-klaim-kasus-covid-19-di-indonesia-menurun-benarkah-demikian-

Terkini Lainnya

7 Manfaat Ikan Teri, Menyehatkan Mata dan Membantu Diet

7 Manfaat Ikan Teri, Menyehatkan Mata dan Membantu Diet

Tren
Buah dan Sayur yang Tidak Boleh Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Buah dan Sayur yang Tidak Boleh Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Tren
Jadwal dan Live Streaming Pertandingan Semifinal Thomas dan Uber Cup 2024 Hari ini

Jadwal dan Live Streaming Pertandingan Semifinal Thomas dan Uber Cup 2024 Hari ini

Tren
Sederet Fakta Kasus Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Dilakukan di Jalan Desa

Sederet Fakta Kasus Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Dilakukan di Jalan Desa

Tren
Bagaimana Tubuh Bisa Menghasilkan Vitamin D saat Terpapar Sinar Matahari?

Bagaimana Tubuh Bisa Menghasilkan Vitamin D saat Terpapar Sinar Matahari?

Tren
Waspada Cuaca Panas Melanda Indonesia, Ini Tips Menghadapinya

Waspada Cuaca Panas Melanda Indonesia, Ini Tips Menghadapinya

Tren
7 Tanda Kolesterol Tinggi yang Sering Diabaikan, Pegal di Pundak dan Mudah Mengantuk

7 Tanda Kolesterol Tinggi yang Sering Diabaikan, Pegal di Pundak dan Mudah Mengantuk

Tren
BMKG: Beberapa Wilayah Indonesia yang Berpotensi Hujan Lebat dan Angin Kencang pada 4-5 Mei 2024

BMKG: Beberapa Wilayah Indonesia yang Berpotensi Hujan Lebat dan Angin Kencang pada 4-5 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Kata Media Asing soal Kekalahan Indonesia dari Irak | Tragedi Runtuhnya Jalan Tol di China

[POPULER TREN] Kata Media Asing soal Kekalahan Indonesia dari Irak | Tragedi Runtuhnya Jalan Tol di China

Tren
Masalah Tiga Tubuh

Masalah Tiga Tubuh

Tren
Jadwal Lengkap Pertandingan Sepak Bola Olimpiade Paris 2024

Jadwal Lengkap Pertandingan Sepak Bola Olimpiade Paris 2024

Tren
Pendaftaran Sekolah Kedinasan STAN, IPDN, dan STIS Dibuka Mei 2024

Pendaftaran Sekolah Kedinasan STAN, IPDN, dan STIS Dibuka Mei 2024

Tren
Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 67 Resmi Dibuka, Ini Syarat dan Caranya

Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 67 Resmi Dibuka, Ini Syarat dan Caranya

Tren
Ramai soal Sesar Sumatera Disebut Picu Tsunami pada 2024, BMKG: Hoaks

Ramai soal Sesar Sumatera Disebut Picu Tsunami pada 2024, BMKG: Hoaks

Tren
Warganet Keluhkan Sering Sakit Usai Vaksin AstraZeneca, Epidemiolog: Vaksin Tak Bikin Rentan Sakit

Warganet Keluhkan Sering Sakit Usai Vaksin AstraZeneca, Epidemiolog: Vaksin Tak Bikin Rentan Sakit

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke