Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengenal Fenomena Thrift, Upaya Penghematan dengan Beli Pakaian Bekas

KOMPAS.com - Media sosial baru-baru ini tengah diramaikan dengan topik "thrift" atau penghematan dengan cara membeli barang bekas layak pakai, seperti pakaian.

Diketahui, fenomena thrifting ini tengah digandrungi oleh sejumlah orang di Indonesia.

Sebab, orang-orang dapat membeli pakaian bagus dengan harga yang terjangkau dengan kondisi yang masih layak dipakai.

Lantas, apa sebenarnya fenomena thrifting ini?

Dilansir dari CBC (19/11/2019), menurut suvei Kijiji (layanan iklan baris online milik eBay), orang Kanada cenderung tertarik mencari pakaian bekas dengan alasan altruistik dan ekologis sebagai motivasi bagi konsumen.

Dalam artikel disebutkan, ide berbelanja di toko barang bekas mengingatkan masyarakat pada gambaran mengobrak-abrik rak pakaian secara acak, lusuh, dan mungkin bau.

Namun, saat ini masalah iklim mendorong ledakan industri penjualan barang bekas menjadi bergairah kembali.

"Ada pasar 12 miliar dollar AS (sekitar Rp 1,7 triliun) berdasarkan penelitian kami ketika kami mulai. Sekarang pasar memperoleh 24 miliar dollar AS (sekitar Rp 3,4 triliun), dan berharap itu menjadi pasar dengan 50 dollar AS (sekitar Rp 7,1 triliun) dalam waktu singkat," ujar salah satu pendiri San Fancisco-ThredUP, Chris Homer.

ThredUP merupakan sebuah pasar online untuk pakaian bekas yang meluas di Kanada.

"Di Kanada saja, kami telah melihat hampir 70 persen pertumbuhan dari tahun ke tahun dalam platform kami," lanjut dia.

Menurutnya, industri fesyen telah dikritik karena dampaknya terhadap lingkungan, baik untuk barang bekas, yang disebut fast fashion yang menumpuk di tempat pembuangan sampah.

Selain itu, dampak lain yakni jejak karbon yang diperkirakan lebih besar daripada gabungan industri perkapalan dan maskapai penerbangan.

Kendati demikian, membeli pakaian bekas membantu mengatasi masalah ini.

Belanja dengan "Altruistik"

Sebuah laporan dari pasar online Kijiji menegaskan, sikap konsumen mulai berubah dalam pergeseran ke arah perdagangan yang berorientasi pada orang banyak.

Penemuan menunjukkan bahwa motivasi biaya turun empat persen, sementara motivasi altruistik dan ekologis naik enam persen.

Altruistik merupakan sikap perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama.

Masalah lingkungan menjadi prioritas utama banyak pembeli di toko barang bekas Value Village di ujung barat Toronto.

"Limbah pakaian adalah salah satu polutan terbesar, jadi ini jelas membantu karena kami tidak membeli lebih banyak pakaian baru," kata salah satu pelanggan, Daniela Baiocch.

Sementara itu, konsultan ritel, bruce Winder mengatakan, target pasar fast fashion yakni mereka yang muda-mudi dan sadar gaya dengan anggaran terbatas, dan juga mereka yang peduli dengan kesehatan planet ini.

"Milenial muda khususnya, bersama Gen Z, sangat sadar lingkungan. Dan mereka melihat setiap merek dan setiap produk dalam kaitannya dengan apa yang berdampak pada masyarakat, tetapi juga apa dampaknya terhadap karyawan dan lingkungan," ujar Winder.

Pemilik salah satu jaringan kecil dari toko barang bekas di Toronto, Common Sort, Nicole Babin mengatakan, ia dan stafnya sangat selektif terhadap barang dagangannya.

Ia mengaku mendapatkan pembeli yang cukup banyak setiap harinya.

Hal itu menjadi motivasinya untuk terus menyeleksi barang-barang bekas yang terbaik untuk dijual kembali.

“Kami mengukur semua yang ada di toko agar terlihat bagus, dan jika tidak bersih, kami mencucinya,” ujar Babin.

"Jadi pelanggan tidak memiliki bau seperti di beberapa toko vintage," lanjut dia.

Stigma yang memudar

Di sisi lain, tidak semua orang tertarik untuk membeli atau menggunakan barang-barang yang dijual kembali.

Di Value Village, manajer distrik Christine Riddell mengatakan, ada stigma tentang barang bekas.

"Ketika saya tumbuh dewasa, tidak keren jika memakai pakaian bekas. Sebab, tindakan itu mewakili orang-orang yang tidak punya uang untuk beli pakaian baru," ujar Riddel.

Namun, stigma tersebut berubah dengan cepat.

Riddel juga mengatakan bahwa kegilaan Marie Kondo dalam serialnya Tidying Up benar-benar membantu membawa kesadaran akan pentingnya perampingan rumah, dan mendaur ulang barang bekas daripada membuangnya ke tempat pembuangan.

Faktanya, dibutuhkan lebih dari 700 galon air untuk membuat kaus katun, dan lebih dari 1.500 galon air untuk membuat sebuah celana jeans.

Kendati demikian, konsumen ingin membuat pilihan yang lebih cerdas.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/11/19/173100465/mengenal-fenomena-thrift-upaya-penghematan-dengan-beli-pakaian-bekas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke