Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hari Ini dalam Sejarah: Letusan Hebat Gunung Tambora yang Mengubah Dunia

KOMPAS.com - Hari ini 205 tahun yang lalu, Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) meletus hebat pada 10 April 1815.

Total volume yang dikeluarkan Gunung Tambora saat itu mencapai 150 kilometer kubik atau 150 miliar meter kubik. Deposit jatuhan abu yang terekam hingga sejauh 1.300 kilometer dari sumbernya.

Material vulkanik yang mengalir ke lautan menyebabkan gelombang tsunami dengan ketinggian 4 meter.

Letusan dahsyat itu menjadi yang terkuat dalam catatan sejarah manusia modern.

Seorang ilmuwan dan budayawan Amerika Serikat, Gillen D'Arcy Wood, dalam bukunya "Tambora: The Eruption That Changed the World" yang terbit di tahun 2015, menuliskan letusan Tambora memberikan dampak yang menyebar ke seluruh dunia.

Dampak yang terasa yakni adanya tiga tahun perubahan iklim. Dunia semakin dingin dan pola cuaca berubah.

Perubahan itu menyebabkan kegagalan panen dan kelaparan di wilayah Asia, Amerika Serikat dan Eropa.

Magnitudo letusan Tambora, berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI), berada pada skala 7 dari 8, hanya kalah dari letusan Gunung Toba (Sumatera Utara), sekitar 74.000 tahun lalu, yang berada pada skala 8.

Jumlah korban tewas akibat gunung ini sedikitnya mencapai 71.000 jiwa, sebagian ahli menyebut angka 91.000 jiwa.

Sebanyak 10.000 orang tewas secara langsung akibat letusan dan sisanya karena bencana kelaparan dan penyakit yang mendera.

Jumlah ini belum termasuk kematian yang terjadi di negara-negara lain, termasuk Eropa dan Amerika Serikat, yang didera bencana kelaparan akibat abu vulkanis Tambora yang menyebabkan tahun tanpa musim panas di dua benua itu.

Jika kehancuran di sekitar Tambora disebabkan terpaan awan panas, kematian massal berskala global justru disebabkan pendinginan Bumi pasca-letusan.

Total penurunan suhu bumi saat itu mencapai 0,4 sampai 0,7 derajat celsius. Dampaknya adalah kegagalan panen global.

Berikut ringkasan laporan kesaksian saat letusan Gunung Tambora terjadi yang disarikan dari "Transactions of the Batavian Society" Vol VIII, 1816, dan dan "The Asiatic Journal" Vol II, Desember 1816.

Sumanap (Sumenep), 10 April 1815

Sore hari tanggal 10, ledakan menjadi sangat keras, salah satu ledakan bahkan mengguncang kota, laksana tembakan meriam.

Menjelang sore keesokan harinya, atmosfer begitu tebal sehingga harus menggunakan lilin pada pukul 16.00.

Pada pukul 19.00 tanggal 11, arus air surut, disusul air deras dari teluk, menyebabkan air sungai naik hingga 4 kaki dan kemudian surut kembali dalam waktu empat menit.

Baniowangie (Banyuwangi), 10 April 1815

Pada tanggal 10 April malam, ledakan semakin sering mengguncang bumi dan laut dengan kejamnya. Menjelang pagi, ledakan itu berkurang dan terus berkurang secara perlahan hingga akhirnya benar-benar berhenti pada tanggal 14.

Fort Marlboro (Bengkulu), 11 April 1815

Suaranya terdengar oleh beberapa orang di permukiman ini pada pagi hari tanggal 11 April 1815.

Beberapa pemimpin melaporkan adanya serangan senjata api yang terus-menerus sejak fajar merekah. Orang-orang dikirim untuk penyelidikan, tetapi tidak menemukan apa pun.

Suara yang sama juga terdengar di wilayah-wilayah Saloomah, Manna, Paddang, Moco-moco, dan wilayah lain.

Seorang asing yang tinggal di Teluk Semanco menulis, sebelum tanggal 11 April 1815 terdengar tembakan meriam sepanjang hari.

Grissie (Gresik, Jawa Timur), 12 April 1815

Pukul 09.00, tidak ada cahaya pagi.

Lapisan abu tebal di teras menutupi pintu rumah di Kradenan. Pukul 11.00 terpaksa sarapan dengan cahaya lilin, burung-burung mulai berkicau mendekati siang hari.

Pukul 11.30 mulai terlihat cahaya matahari menerobos awan abu tebal. Pukul 05.00 sudah semakin terang, tetapi masih tidak bisa membaca atau menulis tanpa cahaya lilin.

Makasar, 12-15 April 1815

Pada 12-15 April udara masih tipis dan berdebu, sinar matahari pun masih terhalang. Dengan sedikit dan terkadang tidak ada angin sama sekali.

Pagi hari, 15 April, kami berlayar dari Makassar dengan sedikit angin.

Di atas laut terapung batu-batu apung, dan air pun tertutup debu. Di sepanjang pantai, pasir terlihat bercampur dengan batu-batu berwarna hitam, pohon-pohon tumbang. Perahu sangat sulit menembus Teluk Bima karena laut benar-benar tertutup.

Masyarakat yang selamat dari letusan itu kemudian menuliskan beragam kisah, seperti "Syair Kerajaan Bima" yang ditulis oleh Khatib Lukman.

Syair yang terdiri dari 488 bait itu di antaranya memuat kisah ledakan Tambora. Kisah lain berupa narasi, didokumentasikan antara lain oleh PP Roorda van Eysinga (1841).

Seorang Arab dari Bengkulu bernama Said Idrus singgah di negeri Tambora. Apabila pada suatu hari dilihatnya seekor anjing di dalam mesjid, dia menyebutkan Sultan Kafir.

Sultan marah dan mau membalas dendam. Orang Arab itu dibuatnya memakan anjing lalu disuruh bunuh. Waktu itulah api menyala di gunung, mengejar para pembunuh di kota dan di hutan, di darat dan di laut, "sampai lautan Tambora pun menyala".

Api berkobar terus selama beberapa hari dan ribuan orang mati. Kemudian turun hujan abu, dan darat dilanda empoh laut: "sampai sekarang ini kapal boleh berlabuh di mana bekas negeri Tambora adanya".

Demikian juga daerah-daerah sekitar ditimpa malapetaka. Seluruh pulau menderita kelaparan: ada yang mati...ada yang menjual dirinya pada temannya ditukar sama padi. Sepuluh ribu orang Sumbawa lebih meninggal atau mengungsi. Ternak dan lading dibinasakan abu dan selama tiga tahun huma tidak dapat digarap.

Di Sulawesi Selatan terjadi kegelapan selama sehari semalam, "tetapi itu waktu tanah yang kurus menjadi gemuk di Bugis Mengkasar".

Beberapa waktu kemudian tiga ombak besar melanda negeri Tambora dari arah Selatan, maka tujuh kampung jadi tenggelam dan perahu dagang yang berlabuh di situ terbawa naik ke darat.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/10/100400165/hari-ini-dalam-sejarah-letusan-hebat-gunung-tambora-yang-mengubah-dunia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke