KOMPAS.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai tudingan Uni Eropa yang menyebut produk turunan kelapa sawit Indonesia khususnya minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) tak ramah lingkungan sebetulnya adalah karena ada persaingan bisnis antarnegara.
Menurutnya, hal itu karena Eropa lebih banyak memproduksi minyak bunga matahari yang harganya lebih mahal dibandingkan CPO.
Lantas apa itu B20?
Mengenal B20
B20 sendiri merupakan campuran yang terdiri dari biodesel dicampur dengan 80 persen solar.
Melansir dari Kompas.com (18/02/2019), biodesel dijelaskan oleh Dirjen EBTKE umumnya dibuat melalui reaksi metanolisis atau transesterfikiasi antara minyak nabati dengan methanol dibantu katalis basa.
Hasil dari proses ini berupa ester metal asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME).
Adapun saat ini bahan baku biodiesel di Indonesia berasal dari minyak kelapa sawit atau CPO.
Namun sebetulnya tanaman lain seperti jarak, jarak pagar, kemiri sunan, kemiri cina dan nyamplung juga memiliki potensi untuk diolah menjadi biodiesel.
Melansir dari website resmi Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral B20 diberlakukan sebagai program pemerintah sejak Januari 2016 sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nomor 12 tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM nomor 31 tahun 2008 tentang Penyediaan Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain.
Berdasarkan peraturan tersebut jenis sektor yang wajib menerapkan di antaranya usaha mikro, usaha perikanan, usaha pertanian, transportasi dan pelayanan umum/PSO (Public Service Obligation), transportasi non PSO, industry dan komersial serta pembangkit listrik.
Sesuai arahan Presiden RI terhitung mulai tanggal 1 September 2018 mandatori B20 dijalankan secara masif di semua sektor.
Efek B20
Dilansir dari Kompas.com (28/08/2018) Aptrindo (Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia) sempat memberikan pandangannya terhadap penggunaan B20.
Menurut Wakil Ketua Umum 1 Aptrindo Kyatmaja Lookman sebagian besar armada truk di Indonesia membutuhkan alat pemisah air (water separator) guna mengkonsumsi solar B20.
Sebab dari spesifikasi mesin kebanyakan truk belum memiliki alat dan masih menggunakan solar B5 dan B10.
Selain itu, pencampuran B20 bisa menjadi zat pembersih kuat yang akan berpengaruh pada tangka-tangki di SPBU atau tangki truk pengantaran
Hal itu karena kotoran dalam tangki penyimpanan akan mudah terlepas, bercampur dengan bahan bakar.
Akibatnya jika tidak ada water separator, kotoran bisa masuk dan mesin menjadi rusak.
Mudah terurai
Sementara itu, website resmi Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral menyebut, penggunaan biodiesel dapat meningkatkan kualitas lingkungan karena bersifat degradable (mudah terurai) dan emisi yang dikeluarkan lebih rendah dari emisi hasil pembakaran bahan bakar fosil.
Berdasarkan hasil Laporan Kajian dan Uji Pemanfaatan Biodiesel 20% (B20) yang dilakukan oleh Ditjen EBTKE pada tahun 2014, diperoleh hasil uji emisi sebagai berikut:
1. Kendaraan berbahan bakar B20 menghasilkan emisi CO yang lebih rendah dibandingkan kendaraan B0.
Hal ini dipengaruhi oleh lebih tingginya angka cetane dan kandungan oksigen dalam B20 sehingga mendorong terjadinya pembakaran yang lebih sempurna.
2. Kendaraan berbahan bakar B20 menghasilkan emisi Total Hydrocarbon (THC) yang lebih rendah dibandingkan kendaraan B0.
Hal ini disebabkan pembakaran yang lebih baik pada kendaraan.
https://www.kompas.com/tren/read/2020/01/12/173300065/mengenal-b20-produk-kelapa-sawit-untuk-campuran-biodiesel