Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mendagri dan Janji Perda Ramah Investasi

USAI prosesi pelantikan untuk periode jabatan keduanya, Presiden Joko Widodo menekankan kembali keinginannya untuk menyederhanakan regulasi.

Regulasi, seperti halnya juga birokrasi perizinan, merupakan elemen krusial yang menentukan baik-buruknya ekosistem investasi kita.

Keinginan itu, antara lain, hendak diwujudkan melalui penerbitan dua omnibus law, dengan merevisi sekaligus puluhan undang-undang yang potensial saling "mengunci" dan menghambat upaya penciptaan lapangan kerja dan juga pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Pernyataan tersebut ditegaskan kembali saat melantik para anggota Kabinet Indonesia Maju. Harapannya, tata kelola dalam hal pelayanan kepada dunia usaha dan bisnis dalam investasi dapat benar-benar cepat terjadi.

Dalam Rapat Kabinet Indonesia Maju pada akhir Oktober, Presiden pun mengingatkan Menteri Dalam Negeri untuk membenahi regulasi itu, terutama terkait banyaknya peraturan daerah yang tumpang-tindih dengan peraturan yang lebih tinggi.

Regulasi seperti itu harus diperbaiki agar tidak menghambat pelayanan masyarakat, terutama saat berkegiatan ekonomi.

Kondisi perekonomian Indonesia memang tidak sedang cerah benderang. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang selalu mentok pada kisaran 5 persen menunjukkan bahwa kemajuan perekonomian Indonesia belum sepenuhnya sesuai harapan.

Sejak 2013 tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tidak pernah melebihi 6 persen per tahun. Pertumbuhan itupun lebih banyak disokong oleh konsumsi ketimbang investasi.

Selain faktor eksternal karena kondisi ekonomi global, masalah regulasi dan institusi kerap dimajukan sebagai faktor yang menjadi kendala kurang ciamiknya investasi di Indonesia.

Institusi di sini artinya adalah birokrasi pemerintahan yang dinilai belum cukup andal dalam memudahkan investasi dan perdagangan.

Adapun faktor regulasi diidentifikasi sebagai penghambat menyangkut perizinan investasi di Indonesia yang butuh waktu yang relatif lama dibandingkan negara lain.

Rilis World Competitiveness Report dalam ajang World Economic Forum pada tahun 2018 menyebutkan bahwa butuh waktu 25 hari dan melalui 11 prosedur untuk mengurusi perizinan di Indonesia.

Angka itu lebih lama ketimbang rerata negara Asia Tenggara lainnya yang hanya perlu melalui 8,6 prosedur.

Temuan tersebut sejalan dengan keluhan yang kerap muncul saat para investor ingin berinvestasi di daerah-daerah Indonesia.

Kondisi tersebut bukan hanya terjadi sehari-dua hari ini saja, tetapi sudah menjadi semacam keluhan-klasik yang kerap mengemuka.

Kemudahan berbisnis atau ease of doing business di Indonesia pun metok pada peringkat ke-73 dari 190 negara, sebagaimana laporan Doing Business 2020 yang dirilis World Bank, 24 Oktober 2019.

Pesan senada soal pemangkasan regulasi disampaikan kembali Presiden Joko Widodo saat membuka acara Rakornas Indonesia Maju Pemerintah Pusat dan Forkopimda pada 13 November 2019.

Presiden meminta pimpinan pemerintah daerah untuk tidak terlalu banyak menerbitkan peraturan daerah.

Banyaknya peraturan baru dinilai hanya menyusahkan pemerintah ke depannya. Penerbitan regulasi justru bisa mempersulit langkah Pemerintah dalam mengawal perekonomian Indonesia.

Tidaklah mengagetkan pula jika dalam menyikapi kondisi itu Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjanjikan program yang akan dijalankannya adalah penyederhanaan perizinan investasi, koordinasi kebijakan hingga ke tingkat daerah, dan menyelaraskan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah agar tidak terjadi tumpang-tindih kebijakan.

Keselarasan kebijakan antara pusat dan daerah tersebut, menurut Tito, dilandasi spirit utama untuk mempermudah iklim investasi.

(Dis)harmoni peraturan

Pekerjaan rumah bukan sekadar secara proaktif "mencegah" terbitnya peraturan yang merugikan. Evaluasi atas peraturan yang sudah ada pun memberi tantangan yang tidak kecil.

Indonesia dengan desentralisasi dan otonomi daerahnya telah memberikan sejumlah pendelegasian kepada institusi di daerah, termasuk untuk merumuskan kebijakan, termasuk perihal pelaksanaan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi.

Hierarki perundang-undangan memastikan bahwa aturan yang lebih bawah tidak boleh melampaui ketentuan yang lebih tinggi.

Konstitusi Pasal 18 Ayat (6) menegaskan, "Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanlain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan".

Namun realitas di lapangan, terutama di tingkat peraturan daerah, adalah salah satu potensi masalah. Secara substansial, bisa terjadi peraturan melampaui (baca: bertentangan) dengan ketentuan yang termuat dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Belum lagi soal formal, di mana sejumlah peraturan daerah terindikasi dibuat tidak mengikuti prosedur dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang benar.

Bukan semata-mata karena substansi dan proses formal yang tidak sesuai, pokok masalah juga bisa muncul akibat adanya ketidaksesuaian peraturan dan belum tertatanya peraturan perundang-undangan di tingkat pusat secara baik.

Kondisi tersebut menjadi tantangan besar bagi rezim yang berkuasa untuk membenahinya segera.

Data Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada 2018 terdapat 15.146 perda, dengan 5.560 di antaranya fokus pada investasi. Dari jumlah tersebut, 547 perda diidentifikasi bermasalah dan bisa menghambat investasi.

Sebagai contoh, ketentuan mengenai kawasan bebas merokok dan batasan iklan rokok, terutama di tingkat peraturan daerah, adalah salah satu bukti kerancuan administrasi pemerintahan negara kesatuan, di mana tidak semestinya peraturan daerah bisa memuat pengaturan yang melebihi (dan bahkan bertentangan) dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.

Sejumlah regulasi daerah tentang kawasan tanpa rokok (KTR) dan dan batasan iklan tembakau memperlihatkan adanya kon?ik dengan peraturan yang lebih tinggi, ketentuan yang inkonsisten, serta terdapat ketentuan yang multitafsir.

KPPOD bahkan juga mendapati sejumlah ketentuan yang melanggar regulasi nasional serta putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Peluang penataan

Salah satu keluhan jika sudah menyangkut peraturan daerah adalah hilangnya kewenangan pemerintah pusat untuk membatalkan (executive review) peraturan daerah. Adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 137/PUU-XIII/2015 dan 56/PUU-XIV/2016 yang dibacakan pada 5 April 2017 yang mencabut kewenangan pemerintah pusat tersebut.

Putusan tersebut menjadikan pemerintah pusat hanya memiliki peran pengawasan preventif, berupa evaluasi rancangan peraturan daerah.

Lembaga peradilan menjadi penguji peraturan daerah sesuai dengan sistem yang dianut UUD 1945, yakni centralized model of judicial review, bukan decentralized model, seperti ditentukan dalam Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

Perkembangan terkini, perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang disetujui oleh DPR pada akhir September membuka (kembali) kesempatan bagi pemerintah pusat untuk memastikan tidak adanya perda yang bermasalah, termasuk jika ada perda yang dinilai tidak ramah investasi.

Pasal 58 Ayat (2) Undang-Undang tersebut memuat klausul bahwa kewenangan harmonisasi menjadi urusan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Memang klausul tersebut bisa menjadi pisau bermata-dua. Jika digunakan secara eksesif dan serampangan, bisa jadi kewenangan pemerintah daerah untuk menjalankan fungsi pengaturan daerah dengan segala kekhasannya lewat penetapan perda menjadi kehilangan makna.

Pasal tersebut mungkin saja memunculkan kekhawatiran terjadinya "penyeragaman", hal mana yang hendak dihindarkan semenjak Reformasi 1998.

Akan tetapi, jika dilakukan secara tepat, tentunya ada peluang bahwa peraturan di tingkat daerah tidak akan menjadi bumerang bagi keinginan, salah satunya, memacu pertumbuhan ekonomi lewat penciptaan kondisi yang ramah investasi.

Evaluasi preventif bisa dilakukan dengan memastikan semua rancangan bisa harmonis dari sisi substansi maupun prosedur formal pembentukannya.

Tantangannya kini berpulang kepada pemerintah, terutama di tingkat pusat. Bagaimana kapasitas pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, untuk melakukan harmonisasi rancangan perda?

Terlebih jika mengacu pada pengalaman sebelumnya, bahwa dengan kewenangan untuk membatalkan perda sekalipun, tidak menjadikan peraturan-peraturan bentukan daerah menjadi sepenuhnya bebas masalah.

Kondisi itu berkelindan dengan realitas produktivitas penyusunan perda oleh 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Belum lagi, apa jadinya jika kemudian daerah abai, atau setidaknya berlama-lama dengan tidak menindaklanjuti rekomendasi pemerintah pusat?

Tumpukan persoalan tersebut harus segera diselesaikan oleh pemerintah, khususnya Menteri Dalam Negeri. Terlebih di tengah ancaman krisis global dan juga daya tarik investasi di negara-negara tetangga, penciptaan iklim berbisnis yang kondusif perlu dilakukan segera.

Tentu tidak semudah membalik telapak tangan bagi Mendagri yang baru, yang bukan hanya harus menata urusan pemerintahan dalam negeri, tetapi juga turut membantu "stabilitas keamanan berinvestasi".

Gebrakan nyata dinantikan dari Menteri Tito di hari-hari awal kepemimpinannya di Kementerian Dalam Negeri.

Bukan hanya Presiden yang bakal menagih hasil kerjanya, tetapi juga masyarakat dan kalangan industri menanti langkah konkret Mendagri.

https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/16/153528365/mendagri-dan-janji-perda-ramah-investasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke