Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kasus Prostitusi PA, Bukti Penegak Hukum Indonesia Masih Bias Gender?

Menurut informasi yang didapatkan, seorang pelaku merupakan pemesan sedangkan orang lainnya merupakan penyedia layanan.

Sesaat setelah berita ini tersebar, masyarakat kembali bertanya-tanya siapa figur publik yang dimaksud. Bahkan masyarakat mulai menebak dari satu figur ke figur lain.

Kasus ini bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, figur publik yang sering malang melintang di layar kaca juga terjerat kasus serupa.

Polisi akhirnya menetapkan figur publik bernisial VA tersebut sebagai tersangka karena diduga mengeksploitasi dirinya sendiri dengan menyebar gambar dan video vulgar kepada mucikari.

Hukum Indonesia masih bias gender

"Saya kira ini kasus kesekian kali yang mengkriminalisasi perempuan yang dilacurkan," ucap ucap Direktur LSM Rifka Annisa, Harti Muchlas menjawab Kompas.com, Minggu (27/10/2019).

Harti mengungkapkan, hukum di Indonesia memang masih bias gender, sehingga dalam kasus yang melibatkan perempuan sebagai pelaku prostitusi, mereka sering ditersangkakan.

Sebaliknya, laki-laki atau mereka yang menggunakan jasa tersebut hampir selalu bisa lepas dari jerat hukum.

Harti menilai, sebaiknya kasus seperti ini dipandang sebagai sebuah eksploitasi komersial seksual.

Pekerja seks korban eksploitasi

Pihak berwajib, menurut Harti, bisa menggunakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUTPPO).

Undang-undang ini, sebut Harti, lebih condong melihat para pekerja seks sebagai korban eksploitasi.

Menurutnya, jika menggunakan UU tersebut, aparat penegak hukum bisa menjerat pihak-pihak yang secara sengaja memperdagangkan perempuan.

Meski demikian, Harti menilai tak hanya hukum, para penegak hukum di Indonesia juga masih bias gender.

"Kalau pakai UUPTPPO ya lebih condong ke melihat adanya eksploitasi. Cuma masalahnya perspektif aparat penegak hukumnya dalam melihat kasus prostitusi itu bagaimana? Dalam banyak kasus kan enggak dipakai UUTPPO-nya," tutur dia.

Hal ini tidak terlepas dari pandangan masyarakat Indonesia yang masih patriarki, yang masih menempatkan perempuan sebagai penjaga moral.

Cara pandang ini membuat masyarakat menempatkan kesalahan sepenuhnya pada perempuan jika melihat adanya praktik prostitusi. Sebaliknya laki-laki hampir selalu bebas dari segala tuduhan.

Media turut andil

Bahkan cara pandang media di Indonesia juga turut memengaruhi langgengnya budaya ini. Harti berpendapat, media juga sering kali memberitakan kasus prostitusi dengan perspektif yang sering meyalahkan pihak perempuan.

"Media kita pun masih suka menulis yang berbau-bau menyalahkan perempuan, sehingga muncul istilah-istilah kayak pelakor," ucap Harti.

Dengan demikian, media sebaiknya menaati etika penulisan korban demi menjaga keamanan dan kerahasiaan dengan menuliskan korban dengan nama yang menyamarkan identitas.

Media juga harus cermat dalam memberitakan sosok tersebut dengan tidak mengungkapkan hal-hal lain seperti alamat maupun identitas lain yang mudah diketahui oleh publik.

https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/27/180000965/kasus-prostitusi-pa-bukti-penegak-hukum-indonesia-masih-bias-gender-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke