Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mobil Esemka, Presiden Jokowi, dan Tuan Mahathir

Di era terbuka ini, nyinyir menjadi salah satu menu oposisi dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang berkuasa.

Gagasan mobil Esemka tergolong isu yang seru untuk ‘dinyinyirin’, apalagi saat Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.

Sasaran tembaknya jelas: Jokowi gagal mewujudkan campaign-nya sebagai orang yang mengorbitkan mobil Esemka. Sah saja bila kenyinyiran oposisi terasa getir, sampai kini.

Terkait mobil Esemka, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewujudkan gagasannya. Jumat (6/9/2019) kemarin, pabrik mobil Esemka diresmikan Jokowi.

Kini, salah satu sumber kenyinyiran dari politisi dan netizen, beralih ke disain mobil Esemka Bima yang dituding sangat mirip mobil buatan China. Bahkan berembus lebih tajam, mobil Esemka hanya mobil buatan China yang ditempel merk Esemka.

Sebenarnya, masalah keraguan publik telah dibantah oleh Presdir PT Solo Manufaktur Kreasi (Esemka) Eddy Wirajaya.

Terlepas dari semua pro dan kontra, memang banyak masalah yang harus dikritisi terkait mobil Esemka ini. Bukan hanya soal Esemka, sebenarnya. Tapi juga dalam soal komunikasi politik Jokowi terkait mobil Esemka.

Soal komunikasi politik ini, kita perhatikan lebih dekat. Tergambar, perbedaaan menyolok seorang sepuh seperti Mahathir Mohamad dengan performances Presiden Jokowi di depan publik.

Lantas, apa pula yang membedakan tim campaign canggih memanfaatkan momen, dibanding tim yang hanya bertumpu pada pengalaman standar saat membangun komunikasi politiknya?

Saya tertarik untuk mengulas momentum kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Malaysia, baru-baru ini (8–9 Agustus 2019).

Di antara sekian banyak momentum, saya hanya berfokus kepada cara berkomunikasi Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad yang out of the box. Melalui momen yang biasa, saya dapat menyimpulkan, Mahathir yang berusia 90 tahun, didukung tim public relations (PR) yang berpikiran lebih canggih.

Apa pula kecanggihannya?

Mungkin kita tidak sadar, Tun Mahathir sedang show off, memamerkan produk otomotif dalam negeri Malaysia.

Proton menjadi salah satu ikon bangsa Malaysia yang terdiri dari puak Melayu plus etnis China dan India, tetangga akrab bangsa kita.

Seorang pria sepuh, pemimpin tertinggi pemerintahan negara federal Malaysia, menyetir mobil sendiri.

Di samping sopir duduk seorang Presiden bangsa yang besar, berpenduduk 269 juta jiwa, dan berpenduduk terbesar keempat di dunia. Malaysia sendiri berpenduduk sekitar 31 juta jiwa.

Pemilihan momen ini saja luar biasa. Tapi yang lebih cerdas adalah pilihan mobil yang dipakai membawa Mahathir dan Jokowi berkelana menyusuri Putra Jaya. Dari ruang pertemuan di Perdana Putra Building, Putrajaya, menuju Dining Hall, Seri Perdana, Putrajaya.

Berita tersebut diunggah dan disebarkan ke seluruh pelosok dunia. Jurnalis yang menjadi selebtwit mengunggah di akun pribadinya seperti Melisa Goh.

Apalagi kalau bukan mobil Proton Persona, namanya semakin terkenal. Inilah mobil dalam negeri kebanggaan Malaysia.

Dulu Persona, namanya Proton Wira. Disain mobil sedan ini terinspirasi layangan khas Malaysia yaitu Wau Bulan bergagang keris.

Jenis mobil yang mulanya diproduksi tahun 2016, menjadi salah satu ikon dari Proton. Di dalam negeri Malaysia, merk Proton menjadi pilihan kendaraan warga negaranya.

Lihatlah kelir mobil yang dipilih tim PR Tun Mahathir. Mobil sedan berwarna merah tua, simbol warna keberanian, kematangan, dan energi yang kuat. Benar saja, warna merah menjadi pusat perhatian media nasional kita.

Warna merah selama ini berkorelasi dengan karakter yang penuh semangat, sehingga menjadi perhatian bagi orang sekelilingnya.

Anda tak percaya tim PR Tun Mahathir cukup canggih?

Ingatan saya menerawang ke masa lalu. Pada kunjungan 5 – 7 Pebruari 2015, Presiden Joko Widodo mengunjungi Kuala Lumpur, Malaysia.

Jokowi juga bertemu Mahathir, saat itu Tun Mahathir hanya mantan PM. Tak pelak lagi, Mahathir mengajak Jokowi test drive mobil Proton.

”Disetir sendiri oleh Bapak Mahathir dengan kecepatan 180 kilometer per jam. Sangat cepat,” kata Jokowi saat menyambut Mahathir di Istana Bogor, Jawa Barat pada 29 Juni 2018. Cerita Jokowi dilansir laman resmi di Instagram.

Kutipan langsung Presiden Jokowi menjadi promosi yang luar biasa bagi Proton. Bayangkan, test drive oleh sopir sepuh dengan kecepatan 180 kilometer, di samping sopir duduk Kepala Pemerintahan Negara yang memiliki 17.504 pulau.

Saya sendiri yang jauh lebih muda, menyetir mobil Ford SUV buatan Amerika berkecepatan 120 kilometer per jam, sudah ketar-ketir di belakang kemudi.

Mahathir justru membawa Proton berkecepatan 180 kilometer tanpa ada rasa takut penumpang di sampingnya. Penumpang istimewa tiada lain Presiden Jokowi.

Bayangkan, test track mobil, saat itu, jalan yang dilalui tidak semuanya rata. Tapi ada bagian jalan yang miring.

Esemka dan Timor

Lantas, kala kunjungan PM Mahathir Mohamad ke Istana Bogor, kendaraan apa yang dipakai Jokowi membawa Mahathir?

Saat keduanya mau shalat Jumat di lingkungan Istana Bogor pada 28 Juni 2018, Jokowi mengendarai mobil golf. Mahathir duduk di sebelah kanan sopir.

Saya membayangkan, alangkah eloknya jika Jokowi menyetir mobil Esemka kala itu, bila Esemka sudah benar-benar ada. Menyetir Esemka, mobil hasil rakitan siswa-siswa Sekolah Menengah Kejuruan.

Apalagi Esemka pernah ia endors dan mempopulerkan nama Jokowi sendiri saat menjabat Wali Kota Solo. Esemka menunjukkan Jokowi punya idealisme terhadap produk bangsa.

Atau, kalau proyek mobil nasional benar-benar terwujud di saat Presiden Soeharto berkuasa, Jokowi akan menyetir mobil nasional Timor (Teknologi Industri Mobil Rakyat).

Sayangnya, kita inferior, bangsa yang selalu tanggung memperjuangkan sesuatu, atau mungkin bangsa egois saat memperjuangkan kepentingan nasional bangsanya sendiri. Atau mungkin, bangsa yang senang berjuang untuk mementingkan klan sendiri.

Buktinya, Timor kandas di tengah jalan, sebab pada 22 April 1998, badan penyelesaian sengketa (Dispute Settletment Body) WTO memutuskan program mobil nasional melanggar asas perdagangan bebas dunia. Dampaknya, harus ditutup.

Melalui Kepres No 20 tahun 1998, mengakhiri cerita mobnas pada 21 Januari 1998. Soal kehadiran mobnas Timor digempur oleh Jepang dan negara produsen mobil lain, itu soal yang berbeda lagi ceritanya.

Apalagi mobnas Timor memiliki unsur mengenalkan merek sendiri. Diproduksi menggunakan kompenen dalam negeri, katanya, kala itu.

Nah, setelah Inpres, ada lagi Keputusan Presiden No 42 tahun 1996 yang menyebutkan kelahiran mobnas perlu disokong bantuan.

Salah satu butirnya, mobil yang diproduksi di luar negeri oleh Tenaga Kerja Indonesia dan memenuhi kandungan lokal, sama derajatnya dengan mobnas buatan dalam negeri.

Anehnya, mobil itu bukan menjadi sesuatu yang bernilai nasionalisme bagi bangsa kita. Gugur dengan sendirinya, seiring lengsernya Pak Harto.

Mungkin, bangsa kita memang menikmati keterlambatan merakit nasionalisme di zaman ultra nasionalis saat ini.

Kita pun terlambat punya ikon otomotif yang membanggakan, kecuali sebagai importir yang dibanjiri oleh mobil mewah. Bahkan mobil berkelas jetset seperti Jaguar, Chrysler, Bentley, banyak berkeliaran di jalan raya Jakarta.

Beruntung, mobil Esemka Bima telah memulai debutnya di Sambi, Boyolali, Jawa Tengah. Selain kendaraan niaga ringan, Esemka memiliki prototipe Garuda 1, Rajawali 1, double cabin berpenggerak listrik. Sayangnya, kemasan acara peresmian, hanya biasa-biasa saja.

Kembakli ke kunjungan balasan Jokowi ke Malaysia baru-baru ini. Sebenarnya, kunjungan untuk membicarakan masalah WNI yang banyak bekerja sebagai TKI di negeri jiran.

Masalah lain, yaitu membahas persoalan kelapa sawit, di mana Indonesia dan Malaysia merupakan produsen sawit terbesar di dunia.

Tapi, apa benefit kunjungan Jokowi yang didapat Malaysia, berkat kecanggihan tim PR-nya? Nama Proton lebih akrab di telinga kita.

Padahal seharusnya, bila mobil Esemka dan Timor benar-benar ada, Presiden Jokowi dapat memperkenalkannya ke mancanegara melalui Tun Mahathir.

Bukan naik mobil golf membawa Mahathir saat di Istana Bogor. Itupun kalau tim PR pemerintah kita benar-benar out of the box cara berpikirnya. (R Mulia Nasution, jurnalis senior yang pernah bergiat menulis puisi, cerita pendek, novel, opini. Novelnya "Rahasia Tondi Ayahku" (Satria 2012,321 hal). Ia pendiri Cikini Studi yang bergerak di bidang kajian ekonomi dan sosial-politik)

https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/10/070500865/mobil-esemka-presiden-jokowi-dan-tuan-mahathir

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke