NEGARA terdiri dari dari kesepakatan-kesepakatan: terutama antara warganegara dan pemimpinnya. Kesepakatan itu terjadi dalam batas waktu, ruang, dan kondisi tertentu.
Kesepakatan itu bisa diperbaharui dan direformasi sesuai dengan kesepakatan pula. Semua kontrak kesepakatan terwujud dalam bentuk hukum, aturan, dan etika.
Kesepakatan-kesepakatan itu membatasi kebebasan mutlak yang dimiliki, baik oleh warga maupun pemimpinnya dalam bernegara.
Dalam relasi sosial antarindividu dibatasi kebebasannya untuk menjamin kebebasan orang lain. Kebebasan seseorang tidak mutlak, apalagi jika mengorbankan kebebasan temannya.
Satu kebebasan tidak melanggar kebebasan lain. Begitu layaknya dalam bernegara, warga tidak bisa seenaknya bertindak tanpa batas. Ada aturan, undang-undang, dan kesepekatan-kesepakatan.
Sama juga pemimpinnya yang membentuk diri menjadi pemerintah. Semua ada batas dan aturan main. Itulah kontrak sosial.
Kontrak sosial adalah istilah yang digunakan oleh para pemikir Eropa untuk mengikat transaksi sosial antara pemimpin dan warga.
Gampangnya seperti akad jual beli. Setelah tawar menawar dalam diskusi dan musyawarah antara rakyat dan pemimpin, terjadilah transaksi sosial dan politik. Proses itu berujung pada kesepakatan bersama. Jadilah kontrak sosial.
Menurut John Locke (1632-1704), Thomas Hobbes (1588-1679), dan Montesquieu (1689-1755), kekuasaan tidak sakral antara Tuhan dan penguasa, tetapi kekuasaan itu bersifat duniawi antara warga dan pemimpin.
Kesepakatan itu terlihat nyata, terukur, dan jelas. Kesepakatan dalam bernegara tidak lah misterius, suci, dan datang dari langit.
Kesepakatan itu terjadi di bumi dalam bernegara dan berbangsa. Semua bisa dipahami dan terbuka. Begitulah cara memahami kontrak sosial.
Tidak seperti di zaman kerajaan dulu kala, legitimasi kekuasaan dipercaya datang dari Dewa, Tuhan, dan dengan legitimasi Kitab Suci.
Walaupun, sebetulnya kesepakatan terjadi hanya antarpenguasa belaka. Unsur-unsur ilahiyat atau dewata hanyalah upaya legitimasi, bukan yang sesungguhnya terjadi.
Faktanya, penguasa ekonomi, agama, sosial dan politik bersepakat saling menguatkan. Kekuasaan sifatnya statis dan sulit beralih karena kuatnya relasi antarpenguasa.
Rakyat tidak terlibat dalam kontrak sosial itu. Tidak ada kontrol karena kuatnya legitimasi dan kesepakatan antarpenguasa. Warga lemah. Rakyat tidak punya posisi dalam kesepakatan.