Dalam kisah Mahabharata diceritakan, kolaborasi licik paman dan keponakan serta ketidaktegasan orangtua berakibat fatal: para Kurawa membenci dan Pandawa saling membinasakan dalam perang Baratayuda.
Ihwal kepentingan pribadi yang berujung pada konflik perebutan kuasa bukan hanya ada dalam kisah Mahabharata. Hal tersebut juga menjadi masalah di negara demokrasi.
Rhodes – Purdy dan L. Madrid dalam tulisannya the Perils of Personalism (2019) menjelaskan personalisme adalah salah satu bahaya bagi demokrasi.
Personalisme terlihat ketika penguasa -karena dorongan kuat kepentingan dan ambisi pribadinya-mengabaikan prinsip dasar demokrasi, untuk mempertahankan atau memperoleh kekuasaan.
Demokrasi adalah perwujudan kedaulatan rakyat. Kualitasnya terlihat dari akuntabilitas vertikal dan horizontal.
Secara vertikal, negara demokrasi membentuk relasi negara dan rakyat yang positif. Salah satunya terlihat dari pemilu yang berkualitas: berlangsung secara jujur, adil dan partisipasi rakyat yang tinggi.
Secara horizontal, perilaku elite politik di negara demokrasi menjunjung tinggi rule of law, independensi lembaga yudisial, mekanisme check and balances dan pembatasan masa kekuasaan.
Apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini menunjukkan hal sebaliknya. Di periode kedua kepemimpinan Jokowi, empat kali wacana masa jabatan presiden tiga periode muncul di publik (Kompas.com, 29 Agustus 2022).
Yang menyedihkan, sebagian elite politik mengungkapkan kesetujuannya. Namun protes masyarakat terhadap wacana tersebut menyebabkan proses politiknya tidak dilanjutkan. Meski demikian, wacana tersebut sempat memunculkan kegaduhan politik.
Turbulensi politik terjadi ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan untuk menguji pasal terkait syarat usia capres-cawapres.
Dalam demokrasi, tentu saja setiap warga negara yang memenuhi syarat undang-undang boleh mencalonkan diri menjadi capres dan cawapres.
Persoalannya, syarat perihal usia tersebut diubah MK hingga akhirnya meloloskan salah satu calon.
Ketika Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi memutuskan ketua MK saat itu, Anwar Usman, melakukan pelanggaran etik berat dalam kasus pengujian batas usia capres dan cawapres, publik meragukan independensi MK sebagai the guardian of constitution.
Independensi dan kehormatannya dikalahkan oleh kepentingan pribadi elite penguasa. Politisasi hukum ini menegaskan kedaulatan rakyat dirampas oleh elite penguasa!
Di tengah ketidakpercayaan sebagian rakyat terhadap penguasa dan aparatnya, kita membutuhkan figur seperti Semar dalam lakon pewayangan.