Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontroversi RA Kartini

Kompas.com - 24/09/2023, 06:15 WIB
Rebeca Bernike Etania,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - RA Kartini, sosok ikonik yang telah memberikan sumbangsih besar bagi perjuangan emansipasi perempuan Indonesia, ternyata tidak lepas dari bayang-bayang kontroversi.

Meskipun memiliki prestasi cemerlang, beberapa pandangan kontroversial muncul di tengah masyarakat terkait peran dan pandangan Kartini.

Pada tahun 1970-an, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar, guru besar Universitas Indonesia mengemukakan kritiknya terhadap semangat pengagungan terhadap RA Kartini sebagai ikon pahlawan nasional yang mewakili gerakan emansipasi perempuan.

Dalam pandangan Prof. Bachtiar, Kartini tidak seharusnya menjadi satu-satunya simbol yang paling diagungkan untuk emansipasi perempuan Indonesia, mengingat masih ada sosok-sosok perempuan hebat lain, terutama yang berjuang di luar Pulau Jawa, seperti Cut Nyak Dhien dan Martha Christina Tiahahu.

Dengan demikian, pertanyaan muncul mengenai mengapa Kartini lebih diangkat sebagai simbol kemajuan nasional perempuan, sedangkan jasanya mencakup wilayah terbatas, seperti Jepara dan Rembang dan mempertanyakan representasi yang merata dari berbagai daerah di Indonesia yang tidak selalu berasal dari Jawa saja.

Baca juga: Apa Jasa RA Kartini bagi Bangsa Indonesia?

Kartini dan Poligami

Meskipun Kartini diakui sebagai pelopor pergerakan emansipasi perempuan di Indonesia, surat-suratnya menunjukkan dukungannya terhadap poligami yang dianggap tidak konsisten dengan tujuan kesetaraan dan pembebasan perempuan.

Dalam beberapa suratnya yang diketahui melalui buku JH Abendanon, Kartini menulis kepada sahabat-sahabatnya mengenai pandangannya terhadap pernikahan dan poligami. Salah satu surat yang diketahui adalah surat kepada Christoffel Abendanon pada 12 Januari 1900.

Dalam surat tersebut, Kartini mengungkapkan pandangannya yang kompleks terhadap poligami. Dia mengakui bahwa poligami diizinkan dalam Islam, tetapi juga menyatakan keraguan dan kekhawatirannya terhadap praktik tersebut.

Kartini menunjukkan keprihatinannya atas perlakuan yang tidak adil terhadap istri-istri kedua dalam poligami dan mengekspresikan bahwa hati dan perasaan perempuan juga perlu diperhatikan.

Namun, Kartini juga mengakui bahwa praktik poligami pada saat itu merupakan bagian dari budaya dan norma-norma sosial di Jawa. Dia merasa bahwa perempuan-perempuan di Jawa telah terbiasa dengan poligami dan menerima nasibnya dengan lapang dada.

Pandangan Kartini mengenai poligami menjadi titik tumpu dalam debat mengenai keselarasan antara nilai-nilai yang diusungnya. dan pandangan yang diutarakan dalam konteks budaya dan agama pada zamannya.

Sebagai seorang tokoh emansipasi perempuan, Kartini secara teoritis memperjuangkan hak-hak dan kebebasan perempuan. Namun dukungannya terhadap poligami mengandung ketidakselarasan dengan tujuan tersebut.

Argumen bahwa pandangan Kartini terhadap poligami tidak selaras dengan konsep emansipasi perempuan dapat diperkuat dengan pemahaman bahwa emansipasi perempuan mengedepankan kesetaraan gender dan kebebasan individu perempuan.

Dalam pandangan feminis kontemporer, dukungan terhadap poligami sering dianggap tidak sejalan dengan perjuangan kesetaraan gender karena poligami dapat menghasilkan ketidaksetaraan dan kerentanan bagi perempuan.

Baca juga: Asal Usul Patung Kartini Pemberian Jepang

Kartini dan Keaslian Suratnya

Sementara itu, terkait dengan surat-surat Kartini yang menjadi bukti pandangan dan pemikirannya, muncul keraguan atas keotentikan dan keberlangsungan isinya. Surat-surat tersebut diketahui melalui buku JH Abendanon yang kemudian memunculkan dugaan bahwa isi surat-surat tersebut mungkin telah mengalami rekayasa atau perubahan.

Jacob Cornelis Mattheus Rijk Abendanon atau atau JH Abendanon sendiri adalah seorang pejabat kolonial Belanda yang memiliki peran penting dalam mengumpulkan dan menerbitkan surat-surat Kartini.

Peran Abendanon dalam penerbitan surat-surat Kartini juga menimbulkan keraguan terhadap keotentikan isi surat-surat tersebut, mengingat peran dan konteks politiknya sebagai pejabat kolonial yang dapat memengaruhi cara presentasi dan interpretasi surat-surat Kartini.

Salah satu faktor yang menyebabkan keraguan ini semakin berkembang adalah karena naskah asli surat-surat Kartini belum berhasil ditemukan hingga saat ini. Ketidaktemuan naskah asli surat-surat Kartini menjadi bahan perdebatan yang cukup kompleks.

Beberapa kalangan menganggap bahwa surat-surat yang ada mungkin telah mengalami penyuntingan atau penambahan kata-kata tertentu yang dapat mempengaruhi makna dan pandangan asli Kartini.

Hal ini terutama disebabkan oleh keterlibatan JH Abendanon dalam penyampaian surat-surat tersebut kepada publik.

Baca juga: Benarkah RA Kartini Berpandangan Maju dan Modern?

Konteks politik pada masa penerbitan buku Kartini juga menjadi faktor yang mengkristalkan keraguan terhadap keotentikan surat-surat tersebut.

Saat itu, Belanda sedang menjalankan politik etis di Hindia Belanda yang mencoba memperbaiki citra kolonialisme mereka dengan mengedepankan pendidikan dan perkembangan sosial di kalangan pribumi.

Oleh karena itu, terdapat keraguan apakah penerbitan buku Kartini dalam konteks politik ini dapat memengaruhi penafsiran dan presentasi isi surat-suratnya.

Beberapa pihak memandang bahwa ada kemungkinan surat-surat tersebut dipilih dan disajikan dengan cara tertentu untuk mendukung narasi politik yang ingin dijalin oleh pemerintah kolonial.

Namun, pandangan Kartini yang terkait dengan feminisme sebenarnya dapat dijelaskan melalui pengaruh lingkungannya. Ia berhubungan dengan teman-teman korespondensinya yang memiliki pandangan feminis, seperti Stella Zeehandelar.

Baca juga: Kartini: Memperjuangkan Emansipasi dengan Literasi (Bagian I)

Meskipun tidak sepenuhnya mengadopsi pandangan feminis Barat, Kartini berjuang untuk memberikan perubahan kondisi perempuan pada masanya, termasuk hak-hak dan pendidikan yang lebih baik.

Bahkan, pandangan Kartini terkait feminisme memiliki kaitan dengan ajaran Islam yang ia pelajari. Dalam surat-suratnya, Kartini terinspirasi oleh ajaran agamanya dan merangkul peran perempuan dalam kehidupan sosial.

Ia mencoba memahami ajaran Islam secara mendalam dan berusaha menyatukan pemikiran kebebasan perempuan dengan ajaran agamanya. Pandangannya mencerminkan bahwa Kartini tidak hanya berjuang untuk emansipasi perempuan, tetapi juga untuk perubahan sosial dan hak-hak perempuan.

Dalam pandangan yang lebih luas, kontroversi terkait RA Kartini adalah refleksi dari kompleksitas sejarah dan perjuangan emansipasi perempuan di Indonesia.

Sosok Kartini telah memberikan inspirasi bagi banyak orang, tetapi juga memicu diskusi tentang konsep emansipasi, agama, dan peran perempuan dalam masyarakat.

Dengan melihat kedalaman dan kompleksitas pandangan Kartini, kita dapat menghargai warisan berharga yang ia tinggalkan bagi perubahan sosial di tanah air.

Referensi:

  • Soekanto, Soerjono. (1994). Kartini, seorang Jawa dan nasionalis. Gramedia Pustaka Utama 
  • Kartini: (2005). The Complete Writings 1898–1904. Monash Asia Institute
  • Radjiman Wedyodiningrat.(1992). Raden Adjeng Kartini: Her Position in Time. Gramedia Pustaka Utama
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com