Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

5 Tokoh Musik Kontemporer Indonesia

Kompas.com - 08/08/2023, 16:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Musik kontemporer adalah musik yang keberadaannya berpaut dengan berjalannya waktu.

Itulah mengapa musik kontemporer disebut juga sebagai musik baru karena senantiasa mengawali sebuah era.

Awalnya, musik kontemporer lebih dulu berkembang di Eropa sekitar abad ke-19.

Setelah itu, musik kontemporer mulai merambah ke negara lain, termasuk Indonesia pada tahun 1970-an.

Ada 5 tokoh musik kontemporer Indonesia, yaitu:

  1. Abdul Sjukur
  2. Rahayu Supanggah
  3. Nano Suratno
  4. Harry Roesli
  5. Djaduk Ferianto

Baca juga: Sejarah Musik Kontemporer di Indonesia

Abdul Sjukur

Slamet Abdul Sjukur adalah seorang komponis yang disebut-sebut sebagai pelopor musik kontemporer Indonesia.

Sejak kecil, Sjukur memang sudah sangat tertarik dengan dunia musik.

Oleh sebab itu, sepanjang hidupnya, Slamet Sjukur terus menekuni minatnya dan mendedikasikan waktunya untuk memajukan musik Tanah Air.

Slamet Sjukur mengawali kariernya di bidang musik di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) hingga menjabat sebagai dekan.

Namun, pada 1987, ia dipecat karena terobosannya di dunia musik yang berpacu pada kebutuhan kreatif tidak dapat diterima oleh pemerintah Orde Baru.

Kendati begitu, Slamet Sjukur tetap melanjutkan kariernya di beberapa institut seni dan membentuk beberapa organisasi musik hingga akhir hayatnya pada 24 Maret 2015.

Baca juga: Biografi Slamet Abdul Sjukur, Pelopor Musik Kontemporer Indonesia

Rahayu Supanggah

Rahayu Supanggah adalah komponis dari Indonesia yang memusatkan karyanya dengan menyusun musik tradisional Jawa.

Terhitung Rahayu Supanggah sudah menciptakan lebih dari 100 buah karya.

Beberapa karyanya yang terkenal adalah Opera Jawa (2006) dan Mengejar Embun ke Eropa (2016).

Komposisi musiknya untuk Opera Jawa arahan sutradara Garin Nugroho asal Indonesia berhasil memenangi penghargaan Best Composer dalam Asian Film Award tahun 2007.

Baca juga: Sejarah Konser Musik, Pertama Kali Diadakan pada Abad 17

Nano Suratno

Nano Suratno berasal dari Garut, Jawa Barat.

Ia adalah seniman dan musisi yang mencurahkan sebagian besar hidupnya pada perkembangan kesenian dan kebudayaan Sunda.

Nano mulai menciptakan lagu sejak tahun 1963.

Pada 1964, ia menggabungkan diri ke dalam kelompok Ganda Mekar pimpinan Mang Moko.

Namun, beberapa waktu kemudian, Nano Suratno mendirikan kelompok musiknya sendiri yang bernama Gentra Madya (1972).

Sejak saat itu, Nano Suratno terus berkiprah dan berkarya dalam bidang musik.

Nano menuai kesuksesan setelah menampilkan pagelaran karawitan Gending Sangkuriang di Festival Komponis Muda yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki tahun 1979.

Sejak awal berkarya hingga akhir hayatnya pada 2010, Nano Suratno telah menghasilkan hampir 200 album.

Harry Roesli

Harry Roesli atau Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli adalah tokoh yang dikenal melahirkan budaya musik kontemporer berbeda, unik, dan komunikatif.

Karya-karya yang dihasilkan Roesli konsisten membahas mengenai kritik sosial secara lugas dalam watak musik teater Lenong.

Sejak awal tahun 1970-an, pemusik berdarah Minangkabau ini sudah mulai populer.

Terutama setelah membentuk kelompok musik bernama Gang of Harry Roesli bersama Albert Warnerin, Indra Rivai, dan Iwan A Rachman.

Namun, lima tahun setelahnya, pada 1975, grup musik ini bubar.

Harry Roesli juga sering membuat aransemen musik untuk teater, sinetron, dan film, di antaranya kelompok Teater Mandiri dan Teater Koma.

Selain itu, ia juga membina para seniman jalanan dan kaum pemulung di Bandung, Jawa Barat, lewat Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang didirikannya.

Setelah berkiprah cukup lama, Harry Roesli meninggal dunia pada hari Sabtu, 11 Desember 2004 pukul 19.55 di RS Harapan Kita, Jakarta.

Baca juga: Sejarah Tanjidor, Seni Musik Permainan Budak

Djaduk Ferianto

R.M. Gregorius Djaduk Ferianto adalah seorang aktor, sutradara, dan musikus kebangsaan Indonesia.

Djaduk Ferianto merupakan putra bungsu dari Bagong Kussudiardja, seorang koreografer dan pelukis senior Indonesia.

Dalam bermusik, Djaduk Ferianto lebih berkonsentrasi pada musik-musik tradisional.

Konon berdasarkan berita yang beredar, Djaduk pernah mengalami diskriminasi sejak tahun 1979, perihal label lokal dan nasional.

Djaduk baru bisa masuk industri nasional pada 1996, setelah muncul di acara Dua Warna di salah satu televisi nasional Indonesia.

Sejak saat itu, Djaduk mulai banyak menerima pekerjaan tingkat nasional.

Akan tetapi, Djaduk enggan menetap di Jakarta dan lebih memilih tinggal di Yogyakarta, kota kelahirannya.

Djaduk Ferianto mengembuskan napas terakhir pada 13 November 2019 di usia 55 tahun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com