KOMPAS.com – Setelah peristiwa Madiun 1948, gerakan kaum buruh mengalami kemunduran popularitas dan kepercayaan di masyarakat.
Organisasi buruh di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi bulan-bulanan para serikat buruh lainnya. Seperti Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM) miliknya PNI, Serikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI), dan lain sebagainya.
Gerakan yang diupayakan oleh kaum buruh Indonesia di bawah naungan Front Demokrasi Rakyat (FDR) milik PKI, mengalami kemunduran setelah disahkannya perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB).
Baca juga: Konferensi Meja Bundar: Latar Belakang, Tujuan, Hasil, dan Dampak
Konferensi Meja Bundar yang ditandatangani pada tahun 1949 itu memuat poin-poin kesepakatan antara Indonesia dan Belanda termasuk yang berkaitan dengan apa yang diperjuangkan oleh buruh Indonesia.
Dalam perjanjian tersebut, pihak Indonesia harus mengembalikan lagi perusahaan-perusahaan yang telah dinasionalisasi sebagaimana yang dilakukan oleh kaum buruh.
Artinya, poin penting yang direalisasikan oleh kaum buruh yaitu mematikan kaum kapitalis asing juga sia-sia dengan kembalinya lagi mereka melalui perjanjian KMB tersebut.
Meskipun apa yang diusahakan oleh kaum-kaum buruh Indonesia mengalami kesian-sian, manuver perjuangannya tetap berjalan.
Baca juga: Kondisi Awal Indonesia Merdeka
Para Founding Fathers menyadari bahwa kembalinya Belanda ke Indonesia juga berarti menyambung kembali penjajahan.
Karena itu, meskipun PKI dan buruh Indonesia memiliki catatan hitam setelah Peristiwa Madiun 1948, mereka diperbolehkan lagi melanjutkan gerakannya.
PKI diberi lagi kepercayaan oleh Soekarno untuk menaungi para buruh Indonesia dalam hal menggoyang perekonomian dan politik yang terpengaruh kapital asing.
Dalam rentang 1950-1965, buruh Indonesia mendapat tempat yang luas dalam pers nasional.
Baca juga: Pergerakan Buruh Indonesia
Gerakan-gerakan yang diinisiasi oleh kaum buruh Indonesia memberi dampak yang besar bagi kondisi perekonomian Indonesia khususnya bagi kaum pekerja.
Misalnya organisasi Serikat Buruh dan Pekerja Republik Indonesia (SARBUPRI). Serikat itu menyalurkan pekerja di perusahaan-perusahaan perkebunan.
Mereka memperolehlebih dari 100.000 anggota di Sumatera Timur, dan mampu menaikkan upah buruh perkebunan hingga 3.000 persen.
Secara umum organisasi buruh-buruh Indonesia melalui gerakannya mencapai lebih dari satu juta orang.
Mereka juga telah berhasil membuat perusahan asing di Indonesia yang tak mampu memenuhi tuntutan, bangkrut karena buruhnya mogok.
Di Kalimantan Timur, perusahaan tambang migas milik Belanda- Inggris, N.V. Bataafsche Petroleum Maatschappij-Shell (BPM-Sheel), berhasil dibeli Indonesia dengan harga murah.
Hal ini tentu berkat gerakan buruh di sana yang membuat perusahaan bangkrut sehingga dijual kepada pemerintah Indonesia.
Baca juga: Perkembangan Ekonomi Indonesia pada Masa Kemerdekaan
Lebih jauh lagi, para buruh-buruh di perusahaan menjadi rebutan para partai politik untuk menjadi ujung tombak melancarkan gerakan menjatuhkan perusahaan.
Gerakan ini dilakukan oleh para buruh melalui penekanan, intimidasi, sabotase, dan pemogokan yang ditujukan untuk meraih keuntungan bagi anggotanya.
Partai-partai politik yang berafiliasi kepada organisasi buruh kala itu memberi dampak besar bagi arah gerak buruh di Indonesia.
Oleh karena itu, sebagian besar buruh kala itu tidak memiliki kesadaran tentang kelas sosial, melainkan kesadaran etnis dan golongan.
Mereka menilai bahwa para majikannya bukanlah musuhnya. Justru mereka berterima kasih kepada para pemilik kapital karena telah menghidupi mereka.
Kebanyakan para buruh tidak meyakini bahwa kemiskinan yang menimpa mereka itu juga disebabkan oleh geliat kapital asing. Mereka yakin bahwa kesusahan hidup adalah nasib, oleh karenanya peran partai penting dalam membangun arah gerak kaum buruh.
Baca juga: Perkembangan Politik pada Awal Kemerdekaan
Dalam perkembangannya, kaum buruh memiliki pandangan yang luas terhadap perpolitikan. Hal ini dapat dilihat dari PKI sebagai basis kaum buruh yang masuk dalam empat partai besar pada tahun 1955.
Kala itu, PKI sebagai partai basis buruh bersaing dengan tiga partai besar lainnya, yaitu Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Masyumi, dan NU.
Ruang politik kaum buruh semakin terbuka lebar tatkala Soekarno membubarkan partai Masyumi tahun 1959 dan mendeklarasikan Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM) sebagai ideologi bangsa.
Namun manuver politik yang dilakukan oleh PKI yang beranggotakan kaum buruh ini juga tidak berlangsung lama, tepatnya setelah terjadinya peristiwa G30S.
Peristiwa itu membuat gerakan para buruh yang terbesar kala itu lenyap. Aktivis buruh dan PKI dibantai secara habis-habisan oleh Soeharto, serta dibubarkan dan dilarang.
Baca juga: Sejarah Peristiwa G30S/PKI
Referensi: