KOMPAS.com - Amir Machmud merupakan tokoh Indonesia di bidang militer yang berada di balik kelahiran Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret.
Amir Machmud berasal dari Cimahi, Jawa Barat, dan pernah menjabat sebagai Kodam Siliwangi ketika hijrah ke Jawa Tengah.
Ia juga merupakan jenderal "suruhan" Soeharto untuk meminta Soekarno menerbitkan Supersemar pada 11 Maret 1966.
Karier Amir Machmud pun bersinar seiring dengan runtuhnya Orde Lama dan berkuasanya Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.
Baca juga: Biografi Singkat Moerdiono: Mensesneg Era Soeharto
Pada era Orde Baru, Amir Machmud pernah menjabat sebagai ketua MPR sekaligus DPR. Ia juga menjadi tokoh yang menganugerahi Soeharto dengan gelar Bapak Pembangunan.
Berikut ini adalah biografi singkat Amir Machmud.
Amir Machmud lahir di Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 1923. Ia adalah anak dari seorang pegawai perusahaan publik di bawah pemerintah kolonial Belanda.
Pada 1941, Amir mengambil kursus topografi, meski sebelumnya, ia tidak mengetahui sama sekali terkait bidang tersebut.
Setelah Jepang menguasai Indonesia pada 1942, dibentuklah Pembela Tanah Air (PETA).
Amir Machmud kemudian bergabung di PETA pada 1943. Selama di PETA, ia menjadi komandan peleton.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Presiden Soekarno ingin membentuk tentara yang dihimpun dari berbagai kelompok milisi.
Amir Machmud menjadi salah satu pemimpin militer yang berada di Lembang, Bandung, Jawa Barat.
Kemudian, pada 1946, ketika Tentara Keamanan Rakyat (TKR) didirikan, Amir Machmud menjadi Kepala Kodam VI/Siliwangi (Divisi Siliwangi).
Namun, setelah ditandatanganinya Perjanjian Renville pada 1948, Amir Machmud beserta pasukannya, KODAM VI/Siliwangi, hijrah ke Jawa Tengah.
Kemudian, pada 1949, Amir Machmud dan pasukannya kembali ke Jawa Barat dan bertempur melawan DI/TII.
Lalu pada 1950, Amir Machmud terlibat dalam pertempuran menumpas pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung.
Setelah itu, Amir Machmud menjabat sebagai Panglima Batalyon di Tasikmalaya dan Garut, sebelum diangkat menjadi Kepala Staf Resimen di Bogor.
Pada 1958, Amir Machmud pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai anggota staf di markas besar Angkatan Darat hingga 1960.
Ketika Pembebasan Irian Barat, Amir Machmud diangkat Soeharto sebagai Kepala Staf Operasional.
Kemudian, pada 1962, Amir Machmud diangkat menjadi Panglima KODAM X/Lambung Mangkurat di Banjarmasin.
Di sana, Amir bertugas untuk keamanan wilayah Kalimantan Selatan.
Saat peristiwa Gerakan 30 September (G30S) terjadi, Amir Machmud menjabat sebagai Panglima KODAM V/Jaya.
Kala itu, Amir Machmud bertanggung jawab untuk melindungi Presiden Soekarno, tetapi ia tetap berada di bawah komando Soeharto yang telah mengambil alih TNI Angkatan Darat.
Amir Machmud pun disebut menjadi "orang suruhan" Soeharto untuk meminta Soekarno menandatangani Supersemar.
Ia adalah satu dari tiga jenderal suruhan Soeharto untuk menghadap ke Soekarno.
Dua jenderal lainnya adalah Brigjen M Yusuf (Menteri Perindustrian Dasar) dan Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Veteran dan Demobilisasi).
Baca juga: Biografi Raden Saleh: Sang Pelukis Raja
Arsip pemberitaan Harian Kompas menyebut, ketiga jenderal itu diutus Soeharto sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, untuk meminta Soekarno memberikan surat perintah guna mengatasi konflik.
Soekarno menganggap Supersemar sebagai perintah biasa kepada Soeharto untuk mengendalikan keamanan nasional, termasuk kemananan dirinya sebagai presiden berserta keluarganya.
Soekarno pun menekankan bahwa Supersemar bukanlah transfer of authority atau pelimpahan kekuasaan presiden.
Namun, surat perintah itu mendapat interpretasi berbeda dari Soeharto dan Amir Machmud yang berperan sebagai "kurir" Supersemar.
Amir Machmud menganggap Supersemar merupakan pengalihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Soeharto.
Soeharto kemudian menggunakan Supersemar untuk melakukan aksi beruntun sepanjang Maret 1966 dan mengikis kekuasaan Soekarno sebagai presiden.
Ia membubarkan PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan anggota Tjakrabirawa (yang terdiri dari sekitar 4.000 anggota pasukan yang loyal kepada Presiden), dan mengontrol media massa di bawah Pusat Penerangan Angkatan Darat (Puspen AD).
Akibatnya, popularitas dan kekuasaan Soekarno pun jatuh lewat manuver-manuver Soeharto dengan berdalih Supersemar.
Setelah Soekarno lengser pada 1967 dan Soekarno mulai berkuasa dengan Orde Baru-nya, karier Amir Machmud pun kian bersinar.
Pada masa Orde Baru, Amir Machmud menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri menggantikan Basuki yang meninggal dunia.
Selama menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud membuat kebijakan untuk menyingkirkan oposisi dan pembangkang pemerintah.
Pada 1969, Amir Machmud melarang pegawai negeri sipil (PNS) terlibat dalam politik, tetapi ia mendorong untuk mendukung Golkar dalam Pemilu 1971.
Selain sebagai Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Pemilihan Umum (LPU) pada 1971, 1977, dan 1982.
Pada 1982, Amir Machmud terpilih menjadi ketua MPR sekaligus DPR.
Dalam Sidang Umum MPR 1983, ia menganugerahi Soeharto dengan gelar Bapak Pembangunan.
Setelah menyelesaikan masa jabatannya sebagai ketua MPR/DPR, Amir Machmud pensiun.
Amir Machmud meninggal dunia pada 21 April 1995 ketika berusia 72 tahun.
Referensi: