KOMPAS.com - Piagam Jakarta adalah rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan.
Piagam Jakarta disahkan pada tanggal 22 Juni 1945. Di dalam Piagam Jakarta, tepatnya pada alinea keempat, termuat dasar negara Indonesia.
Butir pertama dasar negara awalnya berbunyi, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Namun, pada sidang pertama PPKI yang dilaksanakan pada 18 Agustus 1945, butir tersebut diganti menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa."
Lantas, mengapa butir pertama dalam Piagam Jakarta diganti menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa"?
Baca juga: Piagam Jakarta: Sejarah, Isi, Tokoh Perumus, dan Kontroversi
Sidang BPUPKI pertama yang berlangsung antara 29 Mei sampai 1 Juni 1945 memiliki agenda membahas tentang dasar negara Indonesia.
Namun, dari 39 tokoh BPUPKI yang berpidato guna mencoba merumuskan dasar negara merdeka, hanya Soekarno yang secara khusus menyampaikan pandangan terkait dengan rumusan dasar negara.
Hingga hari terakhir sidang BPUPKI pertama, belum dicapai kesepakatan tentang rumusan dasar negara karena masih terjadi perdebatan antara wakil umat Islam dan pemimpin nasionalis (sekuler).
Oleh karena itu, dibentuk Panitia Kecil yang beranggotakan delapan orang, yakni Soekarno, Moh Hatta, Moh Yamin, AA Maramis, Otto Iskandardinata, Soertadjo Kartohadikoesoemo, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan Wachid Hasjim.
Baca juga: Tokoh-tokoh Panitia Sembilan
Sebagai ketua Panitia Kecil, Soekarno menganggap keanggotaan dari golongan Islam yang hanya diwakili oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Wachid Hasjim tidak proporsional.
Oleh karena itu, Soekarno mengubah dan menambah jumlah anggota panitia menjadi sembilan orang sehingga disebut Panitia Sembilan.
Anggota Panitia Sembilan di antaranya:
Baca juga: Siapa yang Merumuskan Piagam Jakarta?
Lima orang pertama dari daftar anggota Panitia Sembilan tersebut merupakan perwakilan golongan kebangsaan, empat orang berikutnya mewakili golongan Islam.
Sedangkan AA Maramis menjadi satu-satunya anggota Panitia Sembilan dari kalangan non-Muslim.
Tugas Panitia Sembilan adalah menyusun naskah rancangan yang akan digunakan dalam pembukaan hukum dasar negara.
Panitia Sembilan bekerja selama masa reses (di luar masa sidang BPUPKI).
Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan telah membentuk rancangan Mukadimah Undang-Undang Dasar, yang kemudian disebut sebagai Piagam Jakarta.
Pada Sidang Kedua BPUPKI yang dimulai pada 10 Juli 1945, Soekarno melaporkan rumusan Mukadimah Undang-Undang Dasar atau preambule yang telah dibentuk oleh Panitia Sembilan selama masa reses.
Di hari itu pula, Moh Yamin mengusulkan rumusan mukadimah itu dinamai Piagam Jakarta.
Baca juga: Pandangan Mohammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno terhadap Negara Merdeka
Berikut ini isi Piagam Jakarta yang dibacakan Soekarno pada hari pertama sidang BPUPKI kedua.
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca juga: 3 Fase Terbentuknya Persatuan Indonesia Menurut Mohammad Yamin
Piagam Jakarta hakikatnya adalah teks deklarasi kemerdekaan Indonesia yang di dalamnya berisi manifesto politik, alasan eksistensi Indonesia, sekaligus memuat dasar negara Republik Indonesia.
Piagam Jakarta terbentuk setelah melalui perdebatan pemikiran para tokoh Panitia Sembilan.
Namun, setelah dibacakan Soekarno pada hari pertama sidang kedua BPUPKI yang diselenggarakan bulan Juli 1945, isi Piagam Jakarta masih menimbulkan perdebatan, khususnya pada bagian dasar negara yang terdapat pada alinea keempat.
Isi Piagam Jakarta yang menjadi sorotan terutama butir pertama dasar negara yang berbunyi, "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Salah satu tokoh yang menyatakan keberatannya terhadap frasa tersebut adalah Latuharhary.
Meski butir pertama tersebut juga diperdebatkan oleh Wongsonegoro, Djajadiningrat, Agus Salim, dan Wachid Hasyim, pada akhirnya, anggota sidang menerima Piagam Jakarta dengan suara bulat.
Baca juga: Apa Pandangan Para Pendiri Bangsa Terkait Isi Mukadimah UUD?
Pada 17 Agustus 1945, Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia.
Namun, hari itu juga, terjadi permasalahan. Meski telah disetujui pada sidang BPUPKI kedua, isi Piagam Jakarta kembali memicu konflik.
Bagian yang dipermasalahkan masih sama, yakni bunyi sila pertama dalam Piagam Jakarta, "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Persis setelah proklamasi dikumandangkan, tersiar kabar bahwa rakyat Kristen di wilayah Indonesia timur akan menolak bergabung Republik Indonesia apabila syariat Islam masuk dalam UUD.
Ada yang mengatakan bahwa kabar tersebut disampaikan oleh seorang opsir Angkatan Laut Jepang kepada Mohammad Hatta.
Ada pula yang menyatakan bahwa perwakilan yang menemui Moh Hatta adalah tiga mahasiswa Ika Daigaku, yakni Piet Mamahit, Moeljo, dan Imam Slamet, yang berpakaian seragam Angkatan Laut Jepang.
Baca juga: Biografi Moh Hatta, Wakil Presiden Pertama Indonesia
Tiga mahasiswa itu diutus setelah terjadi diskusi antara tokoh Asrama Prapatan 10 dengan Dr Ratulangi, AA Maramis, dan Mr Poedja.
Menanggapi hal itu, Moh Hatta mengumpulkan wakil golongan Islam seperti Wachid Hasjim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan untuk membicarakan persoalan tersebut.
Dalam pembicaraan informal, akhirnya disepakati bahwa frasa "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa" demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada sidang PPKI, 18 Agustus 1945, Moh. Hatta membacakan beberapa perubahan sebagaimana telah disepakatinya bersama beberapa wakil golongan Islam.
Setelah ada perubahan isi, Piagam Jakarta diubah namanya menjadi Pembukaan UUD 1945, dan diresmikan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.
Sehingga, alasan butir pertama dalam Piagam Jakarta diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa adalah demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Perubahan itu dilakukan setelah Moh Hatta mendapat kabar bahwa rakyat Kristen di wilayah Indonesia timur akan menolak bergabung Republik Indonesia apabila syariat Islam masuk dalam UUD.
Referensi: