KOMPAS.com - Sadranan, atau lebih dikenal dengan nyadran, merupakan salah satu kearifan lokal yang masih mengakar kuat pada kebudayaan Jawa.
Nyadran banyak dilaksanakan oleh masyarakat Islam Jawa kejawen.
Dalam istilah Islam Jawa kejawen, nyadran dapat diartikan sebagai kegiatan ziarah kubur atau pergi mengunjungi makam leluhur untuk berdoa sambil membawa kemenyan, bunga, dan air.
Apabila menilik sejarahnya, nyadran merupakan hasil dari perpaduan antara beberapa kepercayaan yang menghasilkan kepercayaan baru antara Hindu, Islam, dan Jawa.
Baca juga: Wujud Akulturasi Budaya Lokal dengan Islam
Nyadran dipercaya telah dilaksanakan oleh masyarakat Jawa sejak agama Hindu berkembang di Nusantara.
Pada masa itu, istilah nyadran disebut dengan shraddha, yang memiliki arti iman.
Shraddha merupakan upacara penghormatan terhadap arwah orang-orang meninggal yang dianggap suci.
Inti dari ritual upacara shraddha adalah menunjukkan rasa hormat kepada leluhur (nenek moyang) dan mensyukuri atas kelimpahan air dan alam.
Pelaksanaan upacara shraddha dilakukan setiap tahun, waktunya menyesuaikan dengan tanggal kematian seseorang yang dihormati.
Namun, jika pihak keluarga tidak mengetahui tanggal kematian seseorang yang akan didoakan dalam shraddha, maka ritual dilakukan pada hari yang luar biasa.
Penentuan hari luar biasa tersebut didasari oleh perhitungan tertentu.
Inti pelaksanaan shraddha adalah untuk menunjukkan rasa hormat kepada para leluhur dan wujud syukur atas kelimpahan alam dan air.
Baca juga: Tradisi Rebo Wekasan: Asal-usul, Tujuan, dan Ritualnya
Seiring berjalannya waktu, agama Islam mulai masuk dan disebarkan di Jawa. Kontak budaya antara Islam, Hindu, dan Jawa pun terjadi.
Lambat laun, istilah shraddha berubah menjadi sadranan atau nyadran, yang tradisinya telah mendapatkan pengaruh nilai-nilai ajaran agama Islam.
Penyebaran agama Islam di Jawa yang masif tidak dapat dipisahkan dari peran Wali Songo.