Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biografi Gus Miek, Ulama yang Memiliki Karomah Wali

Kompas.com - 20/12/2021, 13:00 WIB
Lukman Hadi Subroto,
Widya Lestari Ningsih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Gus Miek atau Hamim Tohari Djazuli adalah seorang pendiri amalan dzikir Jamaah Mujahadah Lailiyah, Dzikrul Ghofilin, dan Sema'an Jantiko Mantab.

Terlahir sebagai putra pendiri pesantren, ia justru menghabiskan sebagian besar hidupnya di luar tembok pesantren untuk mengamalkan ilmunya dan berdakwah.

Gus Miek juga diyakini sebagai wali atau kekasih Allah karena memiliki banyak karomah atau kelebihan yang sulit dijangkau akal.

Baca juga: Datuk ri Bandang, Tokoh Penyebar Islam di Indonesia Timur

Masa kecil dan pendidikan

Gus Miek lahir di Kediri pada 17 Agustus 1940 dari pasangan KH. Ahmad Djazuli Usman, yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah di Ploso, Kediri, dan Nyai Rodliyah.

Sejak kecil, ia memiliki suara yang merdu dan fasih saat membaca Alquran. Di sisi lain, ia dikenal sebagai anak yang pendiam dan suka menyendiri.

Pada awalnya, Gus Miek mendapat pendidikan di Sekolah Rakyat (SR), tetapi tidak lulus karena sering membolos.

Setelah itu, ia memperdalam ilmu agama, khususnya membaca Alquran, dengan dibimbing langsung oleh ibunya.

Sedangkan pendidikan pembahasan kitab, Gus Miek beserta para saudaranya diajar langsung oleh ayahnya, KH. Ahmad Djazuli Usman.

Selanjutnya pada umur 13 tahun, Gus Miek melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.

Akan tetapi, awal pendidikannya di Lirboyo hanya bertahan 16 hari saja. Kepulangannya yang mendadak itu sempat membuat resah orang tuanya.

Namun, Gus Miek mampu membuktikan dirinya menguasai beberapa kitab, seperti Shahih Bukhari (kitab hadis), Shahih Muslim (kitab hadis), dan Tafsir Jalalain (kitab tafsir Alquran).

Baca juga: Kartosoewirjo, Pendiri Negara Islam Indonesia 1949

Beberapa bulan kemudian, Gus Miek kembali belajar ke Lirboyo. Ia diketahui cukup rajin, tetapi memiliki kebiasaan buruk, yakni selalu tidur saat santri lainnya sedang mengaji.

Meski demikian, ketika gurunya mengajukan pertanyaan terkait materi yang telah disampaikan, Gus Miek selalu mampu menjawabnya dengan baik.

Selama di Pesantren Lirboyo, Gus Miek berteman dekat dengan beberapa santri, salah satunya adalah Abdulah dari Magelang.

Abdulah inilah yang kemudian membawanya melanjutkan belajar di pondok pesantren yang diasuh oleh K.H. Dalhar di Watucongol, Magelang, Jawa Tengah.

Amalan dzikir Gus Miek

Gus Miek menyusun kembali wirid-wirid yang diajarkan oleh para gurunya, seperti KH. Djazuli Usman, KH. Machrus Ali, dan KH. Dalhar Watucongol.

Mulanya, Gus Miek mendirikan Jama'ah Mujahadah Lailiyah pada 1962, yang mampu menarik jamaah cukup luas.

Baca juga: Sejarah Nahdlatul Wathan

Melalui komunitas ini, Gus Miek menampakkan bahwa ia mengembangkan tradisi wirid di luar kelompok tarekat NU (Nahdlatul Ulama) yang sudah mapan.

Jamaahnya kemudian berkembang dan menjadi Dzikrul Ghofilin. Selanjutnya, antara 1971 hingga 1973, susunan wirid-wiridnya dicetak setelah jangkauan dakwahnya sampai ke Jember.

Pada akhirnya, naskah wirid Gus Miek berhasil dicetak oleh sahabat sekaligus penentangnya, yaitu KH. Achmad Shidiq.

Selang beberapa waktu, sema'an ini berkembang dan menjadi Jantiko pada 1987 di Jember, yang lebih cepat berkembangnya.

Jantiko kemudian berubah nama menjadi Jantiko Manteb pada 1989.

Baca juga: Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah

Dakwah Gus Miek

Dakwah yang dilakukan Gus Miek terbilang unik. Pasalnya, ia sering masuk ke tempat yang tidak biasa untuk dilakukan dakwah Islam.

Adapun tempat yang didatangi adalah diskotek dan tempat perjudian, yang kemudian mendapat tentangan dari gurunya di Liboyo, KH. Machrus Ali.

Terjadi cerita luar biasa ketika Gus Miek pergi ke diskotek, di mana ia bertemu dengan orang yang sedang menenggak minuman keras.

Gus Miek kemudian menghampirinya lalu memasukkan minuman itu ke mulutnya. Namun, ia mengatakan tidak menelan minuman keras tersebut, tetapi membuangnya ke laut.

Orang tersebut tidak percaya lalu melihat mulut Gus Miek, dan seketika kaget melihat adanya gelombang laut yang besar.

Saat itu juga, orang yang mabuk di diskotek tersebut bertobat dan meninggalkan kebiasaan buruknya.

Baca juga: Sejarah Masuknya Islam di Jawa Timur

Karomah Gus Miek

Jauh sebelum kejadian di diskotek, orang tua Gus Miek menyadari akan adanya karomah atau kelebihan kewalian dalam diri putranya.

Hal itu disadari ketika Gus Miek ikut mengasuh pondok pesantren dengan mengajarkan berbagai kitab kepada para santri.

Adapun kitab-kitab yang diajarkan adalah sebagai berikut.

  • Kitab Tahrir (kitab fiqh tingkat dasar)
  • Fatkhul Mu'in (kitab fiqh tingkat menengah)
  • Jam'ul Jawami' (kitab ushul fiqh)
  • Fatkhul Qarib (kitab fiqh tingkat menengah)
  • Shahih Bukhari (kitab hadis)
  • Shahih Muslim (kitab hadis)
  • Tafsir Jalalain (kitab tafsir Alquan)
  • Iqna (kitab fiqh penjabaran dari kitab Fatkhul Qarib)
  • Shaban (kitab tata bahasa Arab)
  • Ihya' Ulumuddin (kitab tasawuf)

Selain itu, pada suatu hari ketika sedang ikut memancing, kail Gus Miek dimakan ikan yang besar hingga membuatnya ikut tercebur ke sungai dan tenggelam.

Pengasuhnya pun panik dan mencoba mencarinya. Akan tetapi, pencarian itu tidak membuahkan hasil hingga membuat pengasuhnya melarikan diri dari pondok.

Baca juga: Kyai Tapa, Adik Sultan Banten yang Memberontak terhadap VOC

Selang beberapa lama, pengasuh tersebut mendengar bahwa Gus Miek selamat dan kembali ke pondok.

Dalam ceritanya, Gus Miek mengatakan bahwa ikan yang tersangkut tersebut adalah peliharaan gurunya, yang kemudian membawanya menghadap ke Nabi Khidir.

Oleh karena itu, Gus Miek justru memarahi Afifufin, temannya saat mancing ikan, yang pernah menyelamatkannya saat tercebur ke sungai.

Wafat

Pada pertengahan tahun 1992, Gus Miek jarang terlihat dan hanya orang-orang terdekatnya saja yang mengetahui keberadaannya.

Selama itu, ternyata Gus Miek di rawat di RS Budi Mulya Surabaya dengan menggunakan identitas palsu untuk menjaga kerahasiaannya.

Pada akhirnya, Gus Miek meninggal pada 5 Juni 1993 di Rumah Sakit Budi Mulya Surabaya, atau sekarang dikenal menjadi Siloam.

 

Referensi:

  • Ibad, Muhamad Nurul. (2007). Perjalanan dan ajaran Gus Miek. Bantul: Pustaka Pesantren.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com