Akan tetapi, bebeberapa datuk seperti Datuk Kocik, Datuk Jalil, dan Suling Barat, menentang kebijakan tersebut karena menolak memberikan tanah kepada Belanda.
Akhirnya, di bawah kepemimpinan Datuk Sunggal, dibuatlah benteng untuk menghadapi Belanda di Timbang Langkat (Binjai).
Baca juga: Asal-usul Nama Trenggalek
Melihat aksi Datuk Sunggal dan rakyatnya, Belanda merasa terhina, sehingga Kapten Koops diperintah untuk menumpas para datuk yang menentang Belanda.
Pada 17 Mei 1872, terjadilah pertempuran sengit antara para datuk dan masyarakat melawan Belanda.
Pertempuran di antara keduanya pun terus berlangsung sampai 24 Oktober 1872, yang diakhiri dengan tertangkapnya Datuk Kocik, Datuk Jalil, dan Suling Barat oleh Belanda.
Setahun kemudian, yakni pada 1873, mereka dibuang ke Cilacap. Setelah itu, pemerintah Belanda mengeluarkan sebuah kebijakan yang berisi dijadikannya Binjai sebagai kotapraja.
Baca juga: Asal-usul Nama dan Sejarah Kota Ambon
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia yang dimulai tahun 1942, Binjai dipimpin oleh kepala pemerintahan Kagujawa.
Kagujawa memimpin Binjai selama dua tahun, sebelum akhirnya digantikan oleh ketua Dewan Eksekutif J Runnanbi dari 1944 hingga 1945.
Setelah Indonesia merdeka pada 1945, pemerintahan Binjai dipimpin oleh RM Ibnu. Kemudian pada 29 Oktober 1945, T Amir Hamzah diangkat menjadi Residen Langkat oleh Komite Nasional.
Dalam perkembangannya, Kota Binjai menjadi salah satu daerah tingkat II di Provinsi Sumatra Utara.
Semenjak ditetapkannya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1986, wilayah Kota Binjai sudah diperluas hingga 90,23 km persegi.
Referensi: