Atas jasanya membantu Inggris, pada 29 Juni 1812 Pangeran Notokusumo dinobatkan sebagai Pangeran Mardiko atau pangeran yang merdeka di dalam Keraton Yogyakarta, dengan gelar Paku Alam I.
Baca juga: Geger Sepehi, Penyerbuan Keraton Yogyakarta oleh Inggris
Menyusul penobatannya sebagai Pangeran Mardiko, Pangeran Notokusumo menyepakati kontrak politik dengan pemerintah Inggris pada 17 Maret 1813.
Penandatanganan kesepakatan tersebut menandai berdirinya Praja Pakualaman. Beberapa hal penting dalam kontrak tersebut di antaranya.
Dengan berlakuknya kontrak politik ini, Praja Pakualaman resmi menjadi nama monarki terkecil di Jawa Tengah bagian selatan.
Baca juga: Biografi Sri Sultan Hamengkubuwono II
Sebagai swapraja, Kadipaten Pakualaman diberi hak otonom, yakni daerah yang mencakup dalam Kota Yogyakarta dan wilayah-wilayah Adikarto, di daerah selatan Kulon Progo (Kapenawon, Temon, Wates, Panjatan, Gakur, dan Lendah).
Dengan demikian, statusnya mirip dengan Praja Mangkunegaran di Surakarta.
Praja Pakualaman juga dilengkapi dengan sebuah legiun, tetapi tidak untuk bertempur. Fungsinya hanya sebagai seremonial dan pengawal pejabat kadipaten.
Pada 7 Maret 1822, pemerintah kolonial Hindia Belanda memberi gelar Paku Alam I, Pangeran Adipati.
Sedangkan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Paku Alam II baru diberikan oleh pemerintah kolonial setelah ditandatangani kontrak politik lainnya.
Pemerintahan dijalankan oleh Pepatih Pakualaman bersama residen atau Gubernur Hindia Belanda untuk Yogyakarta.
Baca juga: Mangkunegaran: Sejarah, Pendiri, Raja-raja, dan Pemerintahan
Status Praja Pakualaman beberapa kali berganti seiring dengan perjalanan waktu, sebagai berikut.
Referensi: