Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perang Tiga Puluh Tahun: Penyebab, Jalannya Pertempuran, dan Dampak

Kompas.com - 22/10/2021, 09:00 WIB
Widya Lestari Ningsih,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

Sumber History

KOMPAS.com - Perang Tiga Puluh Tahun adalah pertempuran di Eropa tengah pada abad ke-17 yang terjadi akibat konflik keagamaan.

Hingga saat ini, pertempuran itu masih menjadi salah satu peperangan terpanjang dan paling brutal dalam sejarah.

Pasalnya, lebih dari delapan juta orang menjadi korban akibat pertempuran militer, serta dari kelaparan dan penyakit selama perang berlangsung.

Perang Tiga Puluh Tahun terjadi pada tahun 1618-1648 di Eropa Tengah, khususnya negara-negara Kekaisaran Romawi Suci.

Hasilnya, perang ini mengubah wajah geopolitik Eropa dan peran agama dalam kehidupan masyarakat.

Latar belakang

Perang Tiga Puluh Tahun terjadi antara negara-negara Katolik dan Protestan yang membentuk Kekaisaran Romawi Suci.

Konflik agama mulai muncul ketika Kaisar Ferdinand II menduduki takhta Kekaisaran Romawi Suci.

Salah satu tindakannya adalah memaksa warga kekaisaran untuk menganut Katolik, meskipun kebebasan beragama telah diberikan sebagai bagian dari Perdamaian Augsburg yang ditandatangani pada 1555.

Namun, dalam perkembangannya, Perang Tiga Puluh Tahun tidak hanya tentang agama, tetapi juga persaingan penguasa Wangsa Habsburg yang berusaha memperluas kendalinya di Eropa.

Setelah Kaisar Ferdinand II mengeluarkan dekrit tentang pemaksaan agama Katolik, bangsawan Bohemia, saat ini termasuk wilayah Austria dan Republik Ceko, dengan tegas menolak.

Mereka bahkan melakukan pelemparan perwakilannya ke luar jendela di Kastil Praha untuk menunjukkan ketidaksenangan terhadap keputusan kaisar.

Peristiwa Pelemparan di Praha (Defenestration of Prague) pada 1618 adalah awal dari pemberontakan terbuka di negara-negara Bohemia, yang mendapatkan dukungan dari Swedia, Denmark-Norwegia, sekaligus menandai dimulainya Perang Tiga Puluh Tahun.

Baca juga: Perang Tujuh Tahun: Latar Belakang dan Dampaknya

Pemberontakan Bohemia

Menanggapi keputusan Kaisar Ferdinand II untuk mengambil kebebasan beragama, negara-negara bagian Bohemia Utara, yang sebagian besar menganut Protestan, berusaha untuk melepaskan diri.

Tahap pertama dari Perang Tiga Puluh Tahun, yang disebut Pemberontakan Bohemia pun resmi dimulai.

Selama lebih dari satu dekade pertempuran, bangsawan Bohemia membentuk aliansi dengan negara-negara Protestan, yang sekarang disebut Jerman.

Sedangkan Kaisar Ferdinand II mencari dukungan dari keponakannya yang sesama Katolik, Raja Phillip IV dari Spanyol.

Tidak lama kemudian, pasukan dari kedua belah pihak terlibat dalam perang brutal di berbagai wilayah.

Di Austria saat ini dan di timur di Transylvania, tentara Kekaisaran Ottoman bertempur bersama Bohemia (dengan imbalan berupa pajak kepada sultan) melawan Polandia, yang berada di pihak Habsburg.

Sementara di sebelah barat, tentara Spanyol bersekutu dengan Liga Katolik, Jerman, Belgia dan Prancis saat ini, yang mendukung Ferdinand II.

Pada awal pertempuran, pasukan Ferdinand II berhasil memadamkan pemberontakan di timur dan di utara Austria, yang kemudian membubarkan Persatuan Protestan.

Namun, pertempuran berlanjut ke barat, di mana Raja Christian IV dari Denmark-Norwegia memberikan dukungannya terhadap negara-negara Protestan.

Meski telah dibantu tentara Skotlandia, pasukan Denmark-Norwegia dapat ditaklukkan oleh kekuatan Ferdinand II dan terpaksa menyerahkan sebagian besar Eropa Utara kepada kaisar.

Baca juga: Sejarah Singkat Perang Salib

Intervensi Swedia

Pada 1630, Swedia, di bawah kepemimpinan Gustavus Adolphus, bergabung dalam pertempuran untuk memihak umat Protestan.

Pasukan Adolphus berhasil memukul mundur pasukan Katolik dan mendapatkan kembali sebagian besar wilayah yang sebelumnya diserahkan pada kaisar.

Dengan dukungan Swedia, kemenangan pihak Protestan terus berlanjut. Namun, ketika Adolphus terbunuh dalam Pertempuran Lutzen pada 1632, Swedia kehilangan sebagian dari semangat mereka.

Pasukan Swedia akhirnya dikalahkan pada 1635 oleh pasukan bangsawan Bohemia, Albrecht von Wallenstein, yang berjumlah 50.000 tentara.

Albrecht von Wallenstein merupakan seorang Protestan, yang mau membantu Ferdinand II dengan imbalan kebebasan untuk menjarah setiap wilayah yang direbut.

Keterlibatan Perancis

Perancis, yang merupakan penganut Katolik tetapi saingan Habsburg, mulai terlibat dalam Perang Tiga Puluh Tahun pada 1635.

Namun, pasukan Perancis tidak berhasil melawan pasukan Katolik, bahkan setelah Ferdinand II meninggal pada 1637.

Sementara itu, Spanyol yang berperang atas perintah penerus dan putra kaisar, Ferdinand III, dan kemudian di bawah Leopold I, melancarkan serangan balik dan menyerbu wilayah Perancis.

Dalam perkembangannya, Perancis berhasil berhasil bangkit kembali, sedangkan kekuatan Spanyol justru menemui jalan buntu.

Keadaan Kekaisaran Romawi Suci semakin terpuruk saat Portugis mulai memberontak melawan penguasa Spanyol pada 1640 dan Swedia kembali terjun ke medan perang dua tahun kemudian.

Baca juga: Tokoh-Tokoh Perang Salib

Kekalahan Kekaisaran Romawi Suci

Pada 1643, Denmark-Norwegia kembali mengangkat senjata, tetapi kali ini berada di pihak Habsburg dan Kekaisaran Romawi Suci.

Di saat yang sama, Raja Perancis Louis XIII meninggal dan meninggalkan takhta kepada putranya yang berusia 5 tahun, Louis XIV.

Setelah itu, Perancis sempat mendapatkan kemenangan, tetapi juga menderita kekalahan hebat, terutama dalam Pertempuran Herbsthausen pada 1645.

Pada 1645, Swedia menyerang Wina, tetapi gagal merebutnya dari tangan Kekaisaran Romawi Suci.

Dua tahun kemudian, pasukan Habsburg, yang dipimpin oleh Octavio Piccolomini, mampu mengusir Swedia dan Perancis dari Austria.

Tahun berikutnya, Swedia merebut Kastil Praha dalam Pertempuran Praha dari pasukan Kekaisaran Romawi Suci.

Peristiwa itu membuat wilayah Austria sebagai satu-satunya yang tetap berada di bawah kendali Habsburg.

Perdamaian Westphalia

Pada 1648, berbagai pihak yang terlibat dalam pertempuran menandatangani serangkaian perjanjian yang disebut Perdamaian Westphalia.

Salah satu isi dari perjanjian ini adalah menegaskan prinsip cuius regio, eius religio, yang artinya bahwa setiap negara diberi kebebasan untuk menjalankan keyakinannya.

Perjanjian ini secara resmi mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun yang telah menimbulkan dampak besar bagi Eropa.

Baca juga: Dampak Perang Salib

Dampak Perang Tiga Puluh Tahun

Perang Tiga Puluh Tahun menimbulkan dampak geopolitik yang signifikan bagi Eropa.

Para sejarawan sepakat bahwa Perdamaian Westphalia meletakkan dasar bagi pembentukan negara dan menetapkan batas-batas pada setiap negara yang terlibat dalam pertempuran.

Seperti contohnya, Spanyol kehilangan cengkeramannya atas Portugal dan republik Belanda.

Perdamaian Westphalia juga memberikan otonomi yang lebih besar kepada bekas negara Kekaisaran Romawi Suci di Eropa Tengah yang berbahasa Jerman.

Selain itu, penduduk suatu negara hanya tunduk pada hukum negaranya sendiri, tidak pada gereja.

Hal ini tentunya mengubah peta kekuasaan di Eropa, di mana pengaruh Gereja Katolik dalam urusan politik berkurang secara signifikan.

Dampak yang paling kentara dari Perang Tiga Puluh Tahun adalah adanya penurunan populasi di Eropa.

Pasalnya, lebih dari delapan juta orang menjadi korban akibat pertempuran militer, serta dari kelaparan dan penyakit selama perang berlangsung.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com