Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Moestopo: Peran, Kiprah, dan Perjuangan

Kompas.com - 08/07/2021, 17:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Moestopo adalah seorang dokter gigi, pejuang kemerdekaan Indonesia, dan pendidik asal Kediri, Jawa Timur. 

Pada 1942, praktik dokter giginya terputus karena Jepang menguasai Indonesia.

Moestopo ditangkap oleh Kempeitai atau Korps Prajurit Hukum karena ia terlihat mencurigakan. 

Setelah bebas, ia sempat menjadi dokter gigi untuk orang Jepang. Tetapi, akhirnya ia memutuskan untuk ikut pelatihan perwira tentara.

Lulus dengan pujian, Moestopo kemudian diberi komando pasukan PETA di Sidoarjo. Ia dipromosikan menjadi komandan pasukan di Surabaya.

Baca juga: Teuku Muhammad Hasan: Masa Muda, Kiprah, dan Perjuangan

Biografi

Moestopo lahir di Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur, 13 Juli 1913. 

Ia adalah putra keenam dari delapan bersaudara dari Raden Koesoemowinoto. 

Setelah menyelesaikan sekolah dasarnya, Moestopo menempuh pendidikan di Sekolah Kedokteran Gigi (STOVIT) di Surabaya.

Tahun 1937, ia menjadi asisten dokter gigi di Surabaya. Empat tahun kemudian, pada 1941 sampai 1942, ia ditunjuk menjadi asisten direktur STOVIT.

Baca juga: Ida Anak Agung Gde Agung: Masa Muda, Kiprah, dan Peran

Perjuangan

Saat Jepang menguasai Indonesia, Moestopo sempat ditangkap oleh kempeitai. Ia dicurigai sebagai orang Indo (campuran Eropa dan Indonesia).

Kecurigaan ini terjadi karena melihat perawakan besar Moestopo.

Setelah dibebaskan, Moestopo pun menjadi dokter gigi militer bagi Jepang.

Selesai melayani sebagai dokter gigi, Moestopo menerima pelatihan militer di Bogor. Ia pun menjadi murid terbaik di kelasnya.

Setelah lulus, Moestopo ikut dalam pelatihan tentara Pembela Tanah Air (PETA) angkatan kedua di Bogor, Jawa Barat.

Setelah ikut pelatihan, Moestopo diangkat menjadi Shudanco atau Komandan Kompi di Sidoarjo.

Namun, berkat kelebihannya, ia pun diangkat menjadi Daidanco atau Komandan Batalion di Gresik.

Kemudian, pasca kemerdekaan Indonesia, akhir Perang Dunia II, Moestopo mengendalikan kekuatan militer yang baru di Surabaya.

Ia melucuti senjata pasukan Jepang hanya dengan dipersenjatai bambu runcing.

25 Oktober 1045, Brigade Infanteri India ke-49 di bawah komando Brigadir Aubertin Walter Wothern Mallaby tiba di Surabaya.

Mallaby mengirim pasukan intelijennya, Kapten Macdonald, untuk bertemu dengan Moestopo.

Kala itu Moestopo sangat keberatan dengan kehadiran pasukan Inggris ke Surabaya.

Saat pihak Inggris menemui Gubernur Jawa Timur, Soeryo, Macdonald dan seorang perwira angkatan laut mengabarkan bahwa Moestopo menginginkan mereka untuk ditembak.

Namun, Soeryo menerima deklarasi Inggris bahwa mereka datang dengan damai.

Pasukan Inggris pun mendarat di Surabaya. Kemudian, Moestopo bertemu dengan Kolonel Pugh. 

Pugh menekankan bahwa Inggris tidak berniat untuk mengembalikan kekuasaan Belanda.

Moestopo akhirnya setuju untuk bertemu dengan Mallaby besoknya.

Setelah melakukan pertemuan, Moestopo dengan enggan setuju akan pelucutan pasukan Indonesia di Surabaya.

Tetapi, keadaan mulai memburuk.

Sore itu, Moestopo dipaksa oleh Mallaby utntuk membebaskan Kapten Belanda Huijer.

Pada 27 Oktober, pesawat Douglas C-47 Skytrain dari ibu kota Batavia menjatuhkan serangkaian pamflet yang ditandatangani oleh Jenderal Douglas Hawthorn.

Isi pamflet itu menuntut pasukan Indonesia menyerahkan senjata mereka dalam waktu 48 jam atau mereka akan dieksekusi.

Merasa dikhianati, Moestopo mengatakan kepada pasukannya bahwa Inggris akan melucuti paksa mereka.

Puncak pertempuran pun ditandai dengan kematian Mallaby. Setelah perang, Moestopo pindah ke Jakarta.

Baca juga: Keraton Surosowan: Fungsi dan Sejarah Berdirinya

Akhir Hidup

Moestopo menghembukan napas terakhir pada 29 September 1986.

Jasadnya dimakamkan di Pemakaman Cikutra, Bandung. 

Untuk menghargai setiap jasanya, tanggal 9 November 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada Moestopo. 

Gelar tersebut diberi berdasarkan Keputusan Presiden No. 66/2007 TK. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com