KOMPAS.com - Doktrin Monroe adalah kebijakan Amerika Serikat untuk menentang kolonialisme Eropa di Benua Amerika.
Dalam doktrin ini dinyatakan bahwa setiap intervensi dalam politik Amerika oleh kekuatan asing dianggap sebagai agresi terhadap Amerika Serikat.
Doktrin ini dibacakan pada 2 Desember 1823 oleh James Monroe, presiden kelima Amerika Serikat.
Presiden James Monroe pertama kali menyatakan doktrin ini selama Pidato Kenegaraan di hadapan kongres.
Namun, istilah Doktrin Monroe sendiri baru diciptakan setelah 1850.
Dasar dari Doktrin Monroe sebenarnya telah diletakkan sejak periode kepemimpinan Presiden George Washington.
Setelah negara-negara Amerika Latin yang tadinya menjadi jajahan Spanyol dan Portugal berjuang untuk meraih kemerdekaannya, Amerika Serikat melihat momen ini sebagai kesempatan agar bisa terlepas sepenuhnya dari kolonialisme Eropa.
Terlebih lagi, beredar kabar bahwa wilayah Amerika Latin akan dikembalikan ke Spanyol dan Prancis, sementara Rusia sedang melebarkan wilayah kekuasananya ke pantai barat laut Amerika Utara.
Oleh karena itu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Quincy Adams segera menyusun rencana untuk mengeluarkan kebijakan luar negeri yang menolak campur tangan Eropa di wilayahnya.
Baca juga: Perjanjian Postdam: Tokoh, Isi, dan Dampak
Isi Doktrin Monroe yang lengkap sangat panjang dan ditulis dalam bahasa diplomatik.
Akan tetapi, esensinya terdiri dari dua prinsip utama. Yang pertama menegaskan bahwa Amerika tidak akan tunduk pada penjajahan oleh negara-negara Eropa.
Dengan doktrin ini, ditegaskan bahwa benua Amerika bersifat independen dan upaya oleh berbagai negara Eropa untuk mengambil kendali negara merdeka di Amerika akan dipandang sebagai tindakan agresi.
Prinsip yang kedua menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak akan ikut campur dengan masalah internal Eropa.
Selain itu, Amerika Serikat juga tidak akan mengganggu koloni Eropa yang masih ada.
Karena Amerika Serikat tidak memiliki angkatan laut dan tentara yang mumpuni pada saat itu, Doktrin Monroe diabaikan secara internasional.
Pangeran Metternich dari Austria marah dan menganggap doktrin ini sebagai tindakan pemberontakan baru oleh Amerika.
Sementara Inggris yang khawatir aktivitas perdagangannya terganggu apabila Spanyol berkuasa kembali di Amerika Latin, diam-diam setuju dengan Doktron Monroe.
Baca juga: Reunifikasi Jerman: Latar Belakang, Kronologi, dan Dampaknya
Hingga abad ke-19, hubungan Amerika Serikat dengan Amerika Latin cukup akrab.
Bahkan setelah dicetuskannya Doktrin Monroe, Amerika Latin menganggap Amerika Serikat telah membatu negara-negara di wilayahnya untuk mempertahankan kemerdekaan dari Spanyol.
Dampaknya, perdagangan Amerika dengan Meksiko, Brasil, Argentina, juga beberapa negara lain di selatan Sungai Rio Grande meningkat dan hubungan mereka bertambah erat.
Di saat yang sama, timbul keraguan dan beberapa pihak mulai mempertanyakan niat di balik Doktrin Monroe.
Salah satunya Diego Portales, pengusaha dan menteri Chili, yang meminta orang-orang untuk berhati-hati dengan niatan Amerika Serikat.
Pada akhir abad ke-19, deklarasi Monroe dipandang sebagai momen yang menentukan dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan salah satu prinsip yang paling lama berdiri.
Pengaruh doktrin ini bertahan selama lebih dari satu abad, dengan hanya sedikit penyesuaian, dan digunakan oleh banyak negarawan serta beberapa presiden AS, termasuk Ulysses S. Grant, Theodore Roosevelt, John F. Kennedy, dan Ronald Reagan.