Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Halim Perdanakusuma: Perjuangan, Kiprah, dan Akhir Hidup

Kompas.com - 22/06/2021, 10:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Abdul Halim Perdanakusuma adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia asal Sampang, Madura.

Ia merupakan tokoh yang pernah memperkuat Angkatan Udara RI yang didirikan di Yogyakarta. Halim giat memperbaiki pesawat terbang rongsokan peninggalan Jepang.

Halim Perdanakusuma diangkat sebagai komodor yang selalu mendampingi Kepala Staf AURI serta melatih pasukan penerjun payung.

Baca juga: Karel Sadsuitubun (KS Tubun): Peran, Kiprah, dan Pembunuhannya

Masa Muda

Abdul Halim Perdanakusuma lahir di Sampang, Madura, 18 November 1922.

Ia adalah putra ketiga dari Haji Abdulgani Wongsotaruno dan ibunya bernama Raden Ayu Aisah.

Ayahnya merupakan seorang Patih atau pemimpin dari Sampang dan juga penulis. Salah satu karyanya adalah “Batara Rama Sasrabahu”, yang ia tulis dalam bahasa Madura.

Semasa kecil, Halim bersekolah di HIS atau sekolah dasar untuk pribumi.

Kemudian, ia melanjutkan sekolahnya di Opleiding voor Inlandsche Ambtenaren atau sekolah untuk pelatihan pejabat pribumi di Magelang.

Namun, pada tahun kedua ia dikeluarkan dari sekolah. Halim pun bergabung dengan Akademi Angkatan Laut Surabaya.

Bergabungnya Halim di AL merupakan sebuah jawaban dari panggilan pemerintah kolonial Belanda untuk membentuk milisi.

Setelah lulus, ia pun menghabiskan beberapa waktunya di departemen informasi Angkatan Laut Kolonial Belanda.

Baca juga: Agustinus Adisucipto: Pendidikan, Perjuangan, Kiprah, dan Akhir Hidup

Kiprah

Pada 1942, Jepang datang dan menguasai Indonesia.

Saat itu, Halim telah dilatih untuk bersiap menghadapi peperangan. Saat berada di Inggris, ia berlatih navigasi dengan Angkatan Udara Kerajaan Kanada.

Pada pelatihan ini, Halim diminta terbang dalam 44 misi di seluruh Eropa, termasuk menerbangkan Avro Lancester dalam misi pengeboman Nazi Jerman.

Setelah Perang Dunia II berakhir, Halim kembali ke Indonesia yang baru saja merdeka.

Di sana, ia bergabung ke dalam militer Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di bawah komodor Suryadi Suryadarma, bersama Agustinus Adisucipto dan Abdul Rahman Saleh.

Halim sendiri ditugaskan untuk mengorganisir Angkatan Udara Indonesia.

Awal 1947, Halim dipromosikan untuk menjaid komodor udara.

Ia juga ditugaskan mendirikan cabang Angkatan Udara di Bukittinggi, Sumatera Barat, guna menyelesaikan tugasnya menembus blokade Belanda di pulau itu.

Selain itu, Halim juga diberi tugas sebagai instruktur navigasi di sekolah penerbangan yang didirikan oleh Agustinus Adisucipto.

Sebagai perwira operasi, Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma mendapat perintah untuk Menyusun serangan udara sebagai balasan atas peristiwa Agresi Militer Belanda I.

Pada dini hari 29 Juli 1947, atas persetujuan pimpinan AURI, dilakukan penyerangan terhadap tiga kora yang dikuasai Belanda, yaitu Semarang, Salatiga, dan Ambarawa.

Atas keberhasilan ini, nama AURI pun melambung. Akibatnya, hal ini memicu kemarahan dari pihak Belanda.

Mereka membabi buta terhadap Indonesia.

Belanda pun menembak pesawat Dakota VT-CLA yang menewaskan tiga perintis dan pelopor AURI, yaitu Komodor Muda Udara Adisucipto, Komodor Muda Udara Abdulrahman Saleh, dan juru radio opsir udara Adioemarmo Wiryokusumo.

Baca juga: Teuku Nyak Arif: Kehidupan, Kiprah, Perjuangan, dan Akhir Hidupnya

Akhir Hidup

Setelah ketiga tokoh gugur, Halim pun diminta menggantikan posisi Adisucipto sebagai Wakil Kepala Staf AURI.

Pada Agustus 1947, Halim diberi tgas untuk membangun Angkatan Udara di Sumatera. Hal ini dimaksudkan untuk menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera menembus blockade udara Belanda.

Pada proses pembangunannya, Halim pun diangkat menjadi Komandemen tentara Sumatera.

Ia bersama rekan kerjanya, Iswahyudi, ditugaskan untuk mengangkut senjata dan amunisi.

Keduanya harus menembus blokade udara Belanda yang sangatlah ketat.

Guna usaha mencari bantuan ke luar negeri, Halim bersama opsir udara I Iswahyudim diminta pergi ke Thailand pada Desember 1947.

Ke Thailand mereka dimintau untuk melakukan penjajakan lebih jauh mengenai pembelian senjata dan pesawat.

Sesudah menyelesaikan tugas di Bangkok, Halim pun kembali ke Indonesia.

Dalam perjalanan pulang inilah pesawat yang ia tumpangi terjebak dalam cuaca buruk.

Alhasil, pesawat yang mereka tumpangi jatuh di Pantai. Peristiwa ini terjadi di Labuhan Bilik Besar, di Pantai Lumut.

Jenazah Halim disemayamkan di Lumut, Malaysia, sebelum dipindah ke Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 1975.

Atas jasanya, Halim pun ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Surat Keppres No. 063/TK/1975 pada 9 Agustus 1975.

Namanya juga dijadikan sebagai nama bandar udara.

Referensi:

  • Sudarmanto, J.B. (2007). Jejak-jejak Pahlawan dari Sultan Agung hingga Syekh Yusuf. Jakarta: Grasindo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com