Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tuanku Imam Bonjol: Perjuangan, Perang Padri, dan Akhir Hidup

Kompas.com - 21/06/2021, 21:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

Sumber Britannica

KOMPAS.com - Tuanku Imam Bonjol adalah seorang ulama, pemimpin, dan pejuang yang turut berperang melawan belanda. 

Peperangan ini kemudian dikenal dengan nama Perang Padri, yang terjadi sejak 1803 sampai 1838. 

Tuanku Imam Bonjol adalah pemimpin pada perlawanan kaum Padri.

Baca juga: Karel Sadsuitubun (KS Tubun): Peran, Kiprah, dan Pembunuhannya

Kehidupan

Tuanku Imam Bonjol atau yang bernama asli Muhammad Syahab lahir di Bonjol, Sumatera Barat, 1 Januari 1772. 

Ia merupakan seorang putra dari Bayanuddin Syahab dan Hamatun. 

Ayahnya merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang. 

Saat tumbuh dewasa, Bonjol telah mempelajari ilmu Islam dari ayahnya. 

Setelah menjadi seorang ulama, Bonjol memperoleh beberapa gelar, seperti Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. 

Tuanku nan Renceh dari Kamang, yang merupakan pemimpin dari Harimau nan Salapan, dewan perkumpulan delapan tokoh Islam, menunjuk Syahab sebagai imam bagi kaum Padri di Bonjol.

Oleh sebab itu, ia akhirnya lebih dikenal dengan panggilan Tuanku Imam Bonjol. 

Baca juga: Agustinus Adisucipto: Pendidikan, Perjuangan, Kiprah, dan Akhir Hidup

Perang Padri

Setelah menjadi pemimpin Padri, ia pun mulai terlibat ke dalam beberapa kontroversi Adat-Padri. 

Gerakan Padri telah dibandingkan dengan aliran Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) di Arab Saudi.

Pada 1803, terdapat tiga orang haji yang kembali dari Mekah ke Indonesia. Mereka adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang.

Mereka ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna yang dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. 

Mengetaui hal ini, Tuanku nan Renceh, seorang ulama, tertarik dan turut mendukung keinginan ketiga haji tersebut bersama dengan ulama lain dalam Harimau nan Salapan.

Harimau nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau, panglima Kaum Padri, untuk mengajak yang dipertuan, Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Namun, tidak pernah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, Kaum Padri dengan Kaum Adat.

Seiring dengan peristiwa ini, beberapa nagari atau desa dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak. 

Puncak peristiwa terjadi pada 1815, terjadi pecah pertempuran di Koto Tengah dekat Batu Sangkar. 

Serangan ini membuat Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibu kota ke Lubukjambi.

Karena merasa terdesak, maka Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda pada 21 Februari 1821. 

Terjadi perjanjian di antara mereka di Padang.

Akibat perjanjian ini, Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah daerh (pedalaman Minangkabau). 

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan Padri sendiri cukuplah sulit, sehingga sulit untuk ditundukkan oleh Belanda. 

Oleh sebab itu, melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, Belanda mengajak pemimpin Kaum Padri, yaitu Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai. 

Belanda menawarkan perdamaian melalui Perjanjian Masang pada 1824. 

Sayangnya, perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Desa Pandai Sikek. 

Pada 1833, peperangan mulai berubah, yang tadinya antara Kaum Adat dan Kaum Padri, sekarang kedua kaum ini justru bekerja sama melawan belanda. 

Bersatunya Kaum Adat dan Kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah. 

Penyerangan serta pengepungan benteng Kaum Padri oleh Belanda terjadi selama sekitar enam bulan, dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda. 

Tuanku Imam Bonjol kemudian menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.

Baca juga: Teuku Nyak Arif: Kehidupan, Kiprah, Perjuangan, dan Akhir Hidupnya

Akhir Perjuangan

Imam Bonjol kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. 

Lalu, ia dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotta, Minahasa, dekat Manado.

Di tempat terakhir inilah ia meninggal dunia pada 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol disemayamkan di tempat pengasingannya tersebut. 

Sebelum wafat, ia telah menulis autobiografi yang berjudul Naskah Tuanku Imam Bonjol. Naskah ini berisi tentang penyesalannya atas kekejaman dalam Perang Padri.

Atas jasanya, Tuanku Imam Bonjol dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 6 November 1973. 

Namanya juga dijadikan sebagai nama jalan, stadion, universitas, bahkan pada lembaran uang Rp 5.000,00 keluaran Bank Indonesia pada 6 November 2001. 

Referensi: 

  • Radjab, M. (1964). Perang Paderi di Sumatra Barat, 1803-1838. Balai Pustaka.
  • Direktorat Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan. (1991). Wajah dan sejarah perjuangan pahlawan nasional, Vol. 3. Departemen Sosial R.I., Direktorat Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com