KOMPAS.com - Nyi Ageng Serang adalah seorang wanita yang menjadi Pahlawan Nasional Indonesia asal Serang, Purwodadi, Jawa Tengah.
Pada awal Perang Diponegoro, 1825, Ageng Serang yang berusia 73 tahun memimpin pasukan dengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda.
Tidak hanya turut berperang, ia juga menjadi penasehat perang. Ageng Serang berjuang di beberapa daerah, seperti Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang.
Salah satu strategi perang paling terkenal darinya adalah penggunaan lumbu (daun talas hijau) untuk penyamaran.
Baca juga: Robert Wolter Mongisidi: Perjuangan, dan Akhir Hidup
Nyi Ageng Serang yang bernama asli Raden Ajeng Kustiah Wulaningsih Retno Edi lahir di Serang, tahun 1752.
Ia adalah anak perempuan dari Pangeran Natapraja, penguasa wilayah terpencil dari Kerajaan Mataram tepatnya di Serang.
Meskipun merupakan putri bangsawan, ia dikenal dekat dengan rakyat. Setelah dewasa, ia juga tampil sebagai salah satu panglima perang untuk melawan penjajah.
Yangsangat menonjol dari perjuangannya adalah kemahirannya dalam krida perang.
Nyi Ageng Serang mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama dengan para prajurit pria.
Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, maka ia harus siap tempur untuk melawan para penjajah.
Nyi Ageng Serang merupakan salah satu keturunan dari Sunan Kalijaga.
Ia juga memiliki keturunan seorang pahlawan nasional, yaitu Ki Hajar Dewantara.
Baca juga: Yos Sudarso: Kiprah, Peran, dan Akhir Hidupnya
Pada 1755 sampai 1830, masyarakat belum mendengar arti emansipasi. Di mana kedudukan wanita saat itu berbeda dengan sekarang.
Namun, Nyi Ageng Serang berbeda, ia merupakan seorang pejuang wanita yang maju melawan Belanda dalam Perang Diponegoro pada 1825 sampai 1830.
Peperangan pertama yang ia ikuti adalah bersama dengan ayahnya, Pangeran Natapraja.