KOMPAS.com – Gerakan Benteng adalah program perekonomian yang berlaku pada masa Kabinet Natsir dari September 1950 hingga April 1951. Kebijakan ini dicetuskan oleh Soemitro Djojohadikusumo, Menteri Perdagangan era Kabinet Natsir.
Gerakan Benteng berlangsung selama tiga tahun (1950-1953) dan berakhir setelah Kabinet Natsir tak lagi berkuasa.
Program Gerakan Benteng yang bertujuan melindungi pengusaha pribumi ini akhirnya dihentikan karena dianggap gagal.
Di awal kemerdekaan, perekonomian Indonesia masih carut marut akibat penjajahan. Indonesia juga masih menanggung utang kepada Belanda hasil dari Konferesi Meja Bundar. Belum lagi revolusi dan perang yang terjadi setelah itu.
Kolonial mewarisi perekonomian yang timpang di mana yang berkuasa yang menguasai sumber daya. Akibatnya, rakyat pribumi biasa sulit mencapai kesejahteraan.
Di masa Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951), Menteri Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo pun mencanangkan Gerakan Benteng yang dimulai sejak April 1950.
Baca juga: Kebijakan Ekonomi pada Masa Demokrasi Liberal
Gerakan Benteng terdiri dari dua kebijakan. Pertama, Gerakan Benteng mengistimewakan importir pribumi.
Importir pribumi diberi kewenangan impor khusus. Selain itu, mereka juga menerima jatah devisa dengan kurs murah.
Kedua, kebijakan ekonomi dilakukan dengan pemberian kredit modal pada pengusaha yang selama ini sulit memperoleh pinjaman dari lembaga pendanaan seperti bank.
Lewat Gerakan Benteng, pemerintah memilih pengusaha-pengusaha pribumi yang akan menerima bantuan.
Para pengusaha yang dinamakan importir Benteng ini telah lulus sejumlah persyaratan di antaranya:
Selama pelaksanaan Gerakan Benteng, persyaratan ini beberapa kali diubah dan diperbaiki agar benar-benar tepat sasaran dan tidak dimanfaatkan oleh pengusaha yang tidak berhak.
Baca juga: Kondisi Ekonomi pada Masa Demokrasi Liberal
Selama tiga tahun pelaksanaan, ada sekitar 700 perusahaan yang menerima bantuan dari program Gerakan Benteng.
Namun ditengarai banyak penerima bantuan yang curang. Para pengusaha pribumi hanya dijadikan sebuah alat bagi para pengusaha nonpribumi untuk bisa mendapatkan kredit dari pemerintah.
Ini menjadi salah satu penyebab berakhirnya sistem ekonomi Gerakan Benteng.
Banyak penerima lisensi impor menjual lisensinya kepada importir yang sudah mapan. Mereka dikenal dengan istilah "aktentas".
Selain itu, persyaratan kepemilikan modal juga menjadi perdebatan karena mendiskriminasi pengusaha Tionghoa.
Pada September 1955, Gerakan Benteng dikaji oleh Kabinet Burnahuddin Harahap dan Sumitro yang saat itu menjabat Menteri Keuangan.
Persyaratan berdasarkan etnis akhirnya dihapus dan diganti dengan persyaratan uang muka.
Pada bulan Maret dan April 1957, Kabinet Karya atau yang disebut Kabinet Djuanda menghentikan Gerakan Benteng seiring dengan transisi ke demokrasi terpimpin.
Referensi: