KOMPAS.com - Demokrasi Liberal berlangsung di Indonesia dari tahun 1949 hingga 1959.
Saat itu Indonesia baru merdeka. Perekonomian belum tertata dan tersendat-sendat.
Apalagi setelah merdeka, Belanda masih berusaha menguasai Indonesia.
Melansir buku Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1966) (2018), Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.
Namun pengakuan itu didasarkan pada syarat Indonesia harus membayar utang kepada Belanda seperti hasil Konferensi Meja Bundar.
Baca juga: Konferensi Meja Bundar: Latar Belakang, Tujuan, Hasil, dan Dampaknya
Utang tersebut sebesar Rp 1,5 triliun utang luar negeri dan Rp 2,8 triliun utang dalam negeri.
Defisit yang harus ditanggung pemerintah saat itu sebesar Rp 5,1 miliar.
Indonesia saat itu hanya mengandalkan ekspor pertanian dan perkebunan. Jika permintaan ekspor itu turun, maka perekonomian akan melemah secara signifikan.
Upaya menggerakkan sektor lain terhambat keterbatasan dana dan sumber daya manusia.
Baca juga: Penyebab Kegagalan Demokrasi Parlementer
Kendala lainnya yakni Indonesia harus menghadapi pemberontakan di daerah-daerah. Kebutuhan keamanan tentu harus menambah biaya.
Belum lagi kabinet yang kerap berganti, menyebabkan program ekonomi tak berjalan optimal.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pun tak bisa menyelamatkan perekonomian.
Baca juga: Penyebab Kegagalan Demokrasi Parlementer
Sejumlah kebijakan yang moneter kala itu yakni: