Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Lapar, Kelaparan, dan Menahan Lapar

Tanaman dan hewan lainnya juga sama. Tanaman membutuhkan sinar matahari dan air, hewan seperti manusia, makan, dan minum.

Ibadah puasa menghentikan sejenak kebutuhan biologis makan dan minum, dalam kondisi menahan lapar.

Lapar sering dialami manusia dan makhluk lain, mungkin karena tidak ada makanan. Dalam kacamata sejarah antropologis, pada zaman ketika manusia masih dalam budaya berburu dan pengumpul makanan di hutan, manusia sering kekurangan makanan.

Saat itu manusia masih ke sana ke mari berburu, belum menetap membangun pemukiman. Dalam suasana tidak menentu, dan menunggu keberuntungan di alam, baik buah, hewan buruan, atau ikan, manusia sering bertahan dalam keadaan lapar.

Lapar itu sudah biasa. Tidak sulit dibayangkan, dalam keadaan lapar mengejar hewan atau mencari buah di hutan. Manusia penuh perjuangan.

Puasa bisa dikembalikan ke asal muasal manusia pada sejarah awal. Manusia tidak serta merta berbudaya, berperadaban, berpolitik, berekonomi, dan berteknologi. Itu baru saja, dalam jangka 10.000-an tahun.

Manusia pernah hidup amat sederhana, di hutan, savana, gunung, gua, dan tepi sungai. Dahulu kala, manusia sering hanya menunggu kebaikan alam untuk mengisi perut.

Kelaparan adalah hal biasa. Ibadah puasa bisa berfungsi mengingat saat-saat perjuangan manusia di masa lampau.

Setelah ribuan tahun, saat ini manusia sudah jauh lebih nyaman. Dengan mendirikan pemukiman, menjinakkan ternak, menanam makanan, atau bahkan memproduksi makanan lewat pabrik secara massal dan instan.

Nasi, roti, biskuit, minuman kemasan sudah ada di toko-toko atau pasar. Manusia kini tinggal membeli saja. Tidak perlu berburu atau menanam.

Bahkan banyak manusia yang tidak mengerti asal muasal makanannya, karena sudah tersedia di mal atau restoran. Yang dilakukan bukan menyiapkan cangkul, atau traktor, tetapi menggesek kartu atau memindai barcode karena sistem pembayaran online.

Puasa mengingatkan bagaimana rasanya lapar, sebelum era teknologi dan pasar bebas ini. Makanan sudah diproduksi secara sistematis. Pasar menguasai manusia. Kebanyakan manusia hanya sebagai konsumen saja.

Namun kelaparan ternyata masih menghantui dunia saat ini. Betul bahwa produksi pangan di dunia ini secara matematis cukup untuk memberi makan penduduk bumi 8,1 miliar mulut.

Tetapi faktanya ada 783 juta perut orang masih kelaparan. Sebanyak 14 juta anak-anak di dunia juga masih mengalami kekurangan makan.

Ada banyak faktor yang menyebabkan kelaparan, di antaranya adalah gejala alam, seperti kekeringan, banjir, letusan gunung, gempa dan lain-lain. Kelaparan juga berhubungan dengan perilaku manusia itu sendiri, seperti ketimpangan politik, konflik, dan kemiskinan.

Menahan lapar dalam puasa tidak sama dengan kelaparan, secara niat dan kondisi. Namun secara medis mungkin sama. Pemasukan ke tubuh berhenti, sel tubuh memakan lemak yang tersisa. Kondisi lemas. Kadangkala pusing.

Dan mungkin secara psikologis mudah tersulut emosi. Kurang makan dan kurang tidur mudah membuat orang kehilangan kontrol diri. Itu juga bagian dari puasa.

Puasa bisa mengingatkan kita bahwa ada banyak penduduk bumi, mungkin juga di Tanah Air sendiri, yang mengalami kelaparan karena bencana alam atau konflik politik.

Puasa mengingatkan betapa tidak enaknya kondisi lapar atau kelaparan. Puasa mengingatkan kita pada penderitaan menahan lapar.

Tentu moral agama lain juga mengajarkan nilai yang sama. Buddhisme menekankan untuk memahami dan membebaskan manusia dari berbagai penderitaan (dukkha).

Kebahagiaan bisa dicapai jika manusia melatih dirinya dalam menghadapi penderitaan, mempertebal kerelaan, mengendalikan keingingan-keinginan, dan melepaskan pada hal-hal jasmani.

Kebencian, kemarahan, kebodohan, dan keserakahan akibat tidak bisa mengendalikan nafsu dalam diri. Begitu juga cemas, khawatir, takut lahir dari keterikatan pada perasaan semata tanpa pengendalian diri.

Puasa paling tidak berusaha untuk mengendalikan lapar, haus, dan keinginan seks sementara waktu.

Di sisi lain era teknologi pangan ini juga melahirkan kelebihan makan, yang menyebabkan keberatan berat badan atau obesitas. Dalam banyak data menyebutkan paling tidak 1 dari 8 manusia di bumi ini mengalami obesitas.

Sejak tahun 1990, jumlah obesitas meningkat dua kali. Sebanyak 2,5 miliar penduduk bumi ini sudah kelebihan berat badan. Dan 890 juta orang sudah masuk kategori obesitas.

Di Indonesia, warung cepat saji tumbuh pesat. Bukan hanya restoran impor dari Amerika, tetapi warung lokal seperti nasi Padang, sate, gule, rawon, pecel lele, sambal matah, betutu, bubur Manado, ketupat, baceman, dan segala kuliner Nusantara yang menggoda semua.

Apalagi saat Ramadhan, segala minuman manis, makanan berlemak, dan cemilan tersedia di sore hari di tepi jalan.

Puasa yang harusnya menahan lapar, tetapi berlimpahnya makanan setelah buka bisa jadi sebaliknya. Ironis memang.

Sekali lagi, puasa bisa dimaknai sebagai ritual umat manusia untuk memperingati rasa lapar dan saat kelaparan di awal sejarah manusia. Fungsi itu tetap aktual di masa sekarang, puasa untuk menahan diri dari kelebihan makan.

https://www.kompas.com/stori/read/2024/03/20/094723579/lapar-kelaparan-dan-menahan-lapar

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke