Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Latar Belakang Pemberontakan Petani Banten 1888

KOMPAS.com - Pemberontakan Petani Banten yang terjadi pada tahun 1888 merupakan perlawanan yang dilakukan para petani di Cilegon, Banten, kepada pejabat kolonial Belanda.

Pemberontakan yang dilancarkan pada 9 Juli 1888 ini juga dikenal sebagai peristiwa Geger Cilegon.

Lantas, apa penyebab Pemberontakan Petani Banten 1888?

Latar belakang Pemberontakan Petani Banten

Latar belakang pecahnya Pemberontakan Petani Banten 1888 adalah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pada tahun 1882-1884, penduduk Serang dan Anyer mengalami dua bencana berturut-turut, yakni kelaparan dan wabah penyakit sampar pada hewan ternak.

Bencana tersebut dipicu oleh musim kemarau berkepanjangan yang menyebabkan gagal panen dan munculnya wabah pes.

Dalam upaya mengatasi krisis tersebut, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan perintah untuk memusnahkan seluruh ternak, termasuk yang tidak terjangkit penyakit.

Tindakan ini menimbulkan kemarahan rakyat terhadap pemerintah Belanda, yang dianggap telah bertindak kejam dan sewenang-wenang.

Bagi para petani, ternak bukan hanya sebagai sumber penghasilan, tetapi juga sahabat yang membantu dalam pekerjaan di ladang.

Akibat pembantaian ternak dalam jumlah yang besar, tidak semua dapat dikuburkan dengan benar, yang membuat bangkainya tersebar di mana-mana dan menjadi sumber penyakit baru bagi penduduk.

Kesengsaraan rakyat bertambah ketika Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883 dan memakan banyak korban jiwa.

Pemerintah kolonial Belanda memperparah kesengsaraan rakyat dengan memberlakukan pemungutan beragam pajak, seperti pajak tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar, dan pajak jiwa, yang besarnya di luar kemampuan penduduk.

Bahkan, dalam praktiknya terjadi kecurangan pegawai pemungut pajak, yang membuat rakyat semakin resah dan membeci penjajah.

Faktor agama turut mewarnai latar belakang terjadinya Pemberontakan Petani Banten 1888.

Akibat penderitaan tersebut, rakyat yang percaya takhayul mulai memberi sesajen di pohon kepuh besar yang dikeramatkan supaya permohonan mereka untuk memusnahkan segala macam bencana dapat terkabul.

Ritual masyarakat tersebut meresahkan seorang ulama bernama Haji Wasid, yang tidak ingin membiarkan kemusyrikan kemudian menebang pohon tersebut.

Akibatnya, Haji Wasid dibawa ke pengadilan kolonial pada 18 November 1887 dan didenda karena melanggar hak orang lain.

Ketegangan semakin meningkat ketika murid dan pengikut Haji Wasid merasa tersinggung saat mengetahui bahwa menara masjid di Jombang Tengah dirobohkan atas perintah Asisten Residen Goebels.

Sebab-sebab itulah yang melatarbelakangi pecahnya Pemberontakan Petani Banten 1888 atau Geger Cilegon.

Pada 9 Juli 1888, dimulailah pemberontakan petani Banten melawan para pejabat pemerintah kolonial di Cilegon.

Mulanya, kekacauan ini tidak dapat diatasi oleh pejabat Belanda dan Cilegon sempat dikuasai oleh para pemberontak.

Namun, pada akhirnya, pemberontakan berhasil dilumpuhkan oleh pasukan kolonial Belanda yang mendapat bantuan dari Jakarta.

Referensi:

  • Kartodirdjo, S. (1984). Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya, Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.

https://www.kompas.com/stori/read/2024/03/05/210000679/latar-belakang-pemberontakan-petani-banten-1888

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke