Pascaditandatanganinya Perjanjian Giyanti, terjadi perang suksesi Jawa untuk memperebutkan takhta.
Pada perang ini, sendi-sendi kehidupan ekonomi masyarakat Jawa mengalami kehancuran.
Butuh hampir setengah abad untuk meredakan kondisi Jawa.
Setelah masa perdamaian, kedua keraton Mataram mulai menata ulang kehidupan dan peradabannya.
Pangeran Mangkubumi lalu mendeklarasikan diri sebagai raja bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Riwayat Kerajaan Mataram Islam secara resmi berakhir baik, secara de facto maupun de jure.
Pembagian wilayah
Berdasarkan isi Perjanjian Giyanti, wilayah Mataram dibagi menjadi dua.
Pertama, wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris takhta Mataram, dengan Sunan Pakubuwono III tetap berkedudukan di Surakarta.
Sementara itu, wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi.
Pangeran Mangkubumi kemudian diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono I yang berkedudukan di Yogyakarta.
Pemindahan ibu kota
Kesultanan Yogyakarta mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda sebagai kerajaan yang memiliki otonomi dalam menjalankan urusan rumah tangganya sendiri.
Hal tersebut dinyatakan dalam kontrak politik yang tercantum dalam Staatsblad 1941 No. 47 tahun 1755.
Sejak saat itulah mulai terwujudkannya pembenahan secara bertahap.
Pada 7 Oktober 1756, Sultan Hamengkubuwono I beserta keluarganya menetap di Keraton Yogyakarta yang telah selesai dibangun.
Peristiwa ini menandai awal peradaban baru di Yogyakarta.
Selain itu, sebagai bentuk penghormatan atas jiwa kebersamaan dan keberanian menghadapi tantangan dibangunlah monument Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani pada gerbang kemagangan menuju arah masuk istana Yogyakarta.
Ibu kota negeri baru itu dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berarti tempat baik dan sejahtera menjadi suri tauladan keindahan semesta.
Ibu kota baru ini dipilih bukan hanya sebagai pusat pemerintahan, melainkan juga dengan harapan cerminan yang baik bagi seluruh negeri.
Selain itu, ibu kota baru menjadi sebagai simbol dari tekad yang membara dari seluruh wilayah negara.
Sebutan Hadiningrat mengisyaratkan bahwa secara konseptual, kota ini dicita-citakan untuk mampu memberikan inspirasi representasi dari keindahan dan kesempurnaan bagi seluruh negeri.
Adapun tempat yang dipilih adalah hutan beringin (alas pabringan), lokasinya tak jauh dari Kotagede, Kerto, dan Plered.
Konon sebelumnya, Sunan Amangkurat IV, ayah Pangeran Mangkubumi, pernah menggagas rencana pembangunan ibu kota Mataram yang baru di tempat itu.
Namun, rencana itu belum terwujud hingga Amangkurat IV wafat.
Pakubuwono II meneruskan keinginan ayahnya dengan membangun pesanggrahan yang dinamai Ngayogyakarta.
Tempat itu dipergunakan sebagai persemayaman sementara jenazah bangsawan Mataram dari Surakarta.
Referensi:
https://www.kompas.com/stori/read/2024/02/20/130000679/masa-peralihan-pascaperjanjian-giyanti-