Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apa Itu Absolutisme?

Biasanya absolutisme menjadi doktrin dan praktik politik yang dijalankan sebuah negara dengan sistem monarki atau kediktatoran.

Pemerintahan absolutisme berada di bawah satu kekuasaan mutlak, bisa dipimpin raja atau seorang diktator.

Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), absolutisme diartikan sebagai bentuk pemerintahan tanpa undang-undang dasar atau bentuk pemerintahan dengan semua kekuasaan terletak di tangan penguasa (raja, kaisar, diktator, dan sebagainya).

Sejak abad ke-18, absolutisme sudah banyak ditinggalkan dan tidak digunakan lagi untuk menjalankan sebuah negara.

Bagaimana sejarah absolutisme yang pernah digunakan dalam sistem pemerintahan negara-negara di dunia?

Sejarah munculnya absolutisme

Pada abad ke-17, hampir seluruh kerajaan di Eropa menjalankan pemerintahan secara absolut.

Pada masa tersebut, pelaksanaan pemerintahan belum sempurna karena pengawasan parlemen terhadap kekuasaan eksekutif belum terbentuk.

Adapun kelahiran absolutisme merupakan hasil perkembangan dari sistem pemerintahan sebelumnya.

Contohnya, sebelum absolutisme lahir, para bangsawan ataupun para petinggi kerajaan mempunyai pasukan khusus, sedangkan raja hanya memiliki pasukan pada waktu perang.

Sebab, bergantung pada sumbangan pasukan dari para kepala daerah.

Kurangnya kekuasaan raja inilah yang kemudian memicu lahirnya absolutisme. Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi lahinya absolutisme adalah:

Perubahan sistem

Pada masa itu, para kepala daerah tidak terjamin kesetiaannya karena mereka tidak menerima gaji dari raja.

Hal ini berimbas pada kedudukan raja yang menjadi lemah.

Oleh karena itu, terjadilah perubahan sistem pemerintahan agar kekuasaan raja menjadi kuat.

Sebutan para kepala daerah diganti dengan gubernur yang menerima gaji oleh raja dan posisinya tidak lagi dapat membawahi pasukan.

Tentara kerajaan berada langsung di bawah perintah raja. Mereka juga memperoleh gaji dari raja dan bersumpah setia kepada raja.

Sejak saat itu, raja memiliki kendali penuh atas kekuasaan pemerintahan yang dipegangnya seorang diri.

Hal ini secara tidak langsung berdampak pada rakyat. Sebab, seluruh tindakan dan keputusan raja dapat menguntungkan ataupun merugikan rakyat.

Gereja mengambil alih kendali

Ketika Kekaisaran Romawi Barat runtuh, kekaisaran lain seolah kehilangan kendali atas penerapan hukum.

Pada saat genting seperti itulah, gereja mulai mengambil alih kendali atas hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat di Eropa, termasuk di bidang politik dan pengetahuan.

Ketika masa kegelapan ini datang, doktrin absolutisme yang pertama kali dicetuskan oleh Pendeta Boussuet pun tak terbendung lagi persebarannya ke penjuru Eropa.

Dalam doktrin absolutisme, diyakini bahwa raja merupakan perpanjangan tangan dari Tuhan di dunia untuk memimpin kerajaan dengan tinggal bersama-sama dan hidup dalam suatu susunan masyarakat politik yang telah dibentuk.

Karena hal itu, raja memiliki suatu hak yang disebut divine right of king, yaitu raja memiliki kekuasaan mutlak atau absolut.

Dengan demikian, tidak dibenarkan adanya oposisi, dan raja memiliki posisi yang suci serta tidak mempunyai tanggung jawab kepada rakyat.

Pada masa dominasi gereja ini, mulai dikenal pula istilah Kristendom, di mana seluruh kerajaan di Eropa saat itu berada di bawah kekuasaan gereja.

Kristendom dan beberapa kerajaan Islam ketika itu berselisih.

Kekhawatiran utama Kristendom saat itu adalah percobaan perluasan wilayah oleh Kekaisaran Ottoman yang merupakan kerajaan Islam terbesar saat itu.

Pada masa Kristendom, para diplomat yang dikirim sebagai duta atau utusan tidak hanya seorang negarawan, tapi juga pemuka agama.

Perselisihan

Perselisihan antara Kristendom dan Islam saat itu ditandai dengan adanya Perang Salib.

Pengiriman utusan selama perang antara Kristendom dab Islam dilakukan oleh para diplomat.

Charlemagne merupakan salah satu pemimpin pada masa Kristendom.

Dia dilantik menjadi penguasa Kekaisaran Romawi Suci oleh Paus Leo III karena pemimpin Kekaisaran Bizantium tidak lagi dapat diandalkan.

Dengan begitu, Charlemagne memimpin sebuah Kristendom yang besar dan mulai menerapkan sistem diplomasi yang baru.

Selama masa kepemimpinannya, Kristendom memiliki hubungan yang tidak baik dengan dunia Islam.

Adapun selama Perang Salib mulailah dikirim utusan-utusan untuk melakukan negosiasi dengan pihak Timur.

Awal Perang Salib menandai dimulainya masa pencerahan atau Renaissance, yakni masa ketika kekuasaan gereja tidak lagi memberikan pengaruh yang besar di Eropa.

Dengan semakin meluasnya pengaruh Islam ,terutama Kekaisaran Ottoman di Eropa, membuka peluang besar untuk mengakhiri masa kegelapan.

Dengan begitu, sistem diplomasi pun ikut berkembang seperti yang telah diterapkan di Italia dan disempurnakan di Perancis, kemudian menjadi acuan praktek diplomasi hingga saat ini.

Masa Renaissance menandai awal dimulainya seni diplomasi yang baru dan juga menginisiasi sistem diplomasi modern.

Doktrin absolutisme dan adanya Kristendom mengukuhkan posisi gereja yang penting dalam sistem perpolitikan saat itu.

Oleh karena itu, sistem diplomasi yang ada pun tidak dapat lepas dari pengaruh Gereja.

 

Referensi:

  • Siska, Yulia. (2016). Sejarah Eropa. Bandarlampung: YSW Wacana

https://www.kompas.com/stori/read/2024/02/02/080000579/apa-itu-absolutisme-

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke