Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Kota Pontianak

Kota Pontianak dikenal sebagai Kota Khatulistiwa karena memang menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang dilalui garis khatulistiwa.

Ulang tahun Kota Pontianak jatuh pada tanggal 23 Oktober.

Bagaimana sejarah Kota Pontianak di Kalimantan Barat?

Sejarah Kota Pontianak

Melansir pontianak.go.id, Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada 23 Oktober 1771.

Oleh sebab itu, 23 Oktober diperingati sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Pontianak.

Pendirian kota diawali dengan pembukaan hutan di kawasan persimpangan tiga sungai, yakni Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar.

Syarif Abdurrahman Alkadrie adalah keturunan ulama asal Hadhramaut dan seorang putri dari Kerajaan Matan.

Menjelang dewasa, Syarif Abdurrahman Alkadrie bertualang hingga Banjarmasin dan dinikahkan dengan putri sultan yang bernama Hatu Sirih Anom.

Setelah itu, Syarif Abdurrahman Alkadrie memboyong keluarga serta pengikutnya untuk mencari daerah permukiman yang baru.

Dari situlah, mereka tiba di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar, kemudian mendirikan permukiman di sana.

Di permukiman tersebut, dibangun Masjid Jami dan sebuah keraton yang dikenal sebagai Istana Kadriah, yang kini berada di Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.

Konon, Syarif Abdurrahman Alkadrie menggunakan meriam untuk mengusir makhluk halus saat hendak mendirikan pusat pemerintahannya di daerah Beting.

Selain itu, meriam juga dipakai untuk berjaga-jaga dari serangan bajak laut.

Pasalnya, lokasi pusat pemerintahan yang strategis, yakni di daerah pertemuan antara anak Sungai Kapuas dan Sungai Landak, juga membuatnya rawan dari ancaman bajak laut.

Pada 1776, Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai raja pertama di Kerajaan Pontianak.

Masa penjajahan Belanda-Jepang

Berkat kepemimpinan Syarif Abdurrahman Alkadrie, Kota Pontianak berkembang menjadi pusat perekonomian dan kota Pelabuhan.

Perkembangan Kota Pontianak salah satunya didukung oleh letaknya yang strategis, berada di jalur perdagangan sungai yang besar.

Daerah tersebut juga menghasilkan hasil tambang berupa emas, yang sejak lama menarik perhatian para pedagang China.

Dua tahun setelah penobatan Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, tiba utusan bangsa Belanda dari Jawa.

Oleh Sultan, mereka ditempatkan di seberang Keraton Pontianak yang terkenal dengan nama Tanah Seribu (Verkendepaal).

Pada 5 Juli 1779, Belanda membuat perjanjian dengan Sultan, yang isinya meminta Tanah Seribu dijadikan tempat kegiatan bangsa Belanda, dan seterusnya menjadi kedudukan Pemerintah Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo lstana Kadariah Barat) dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asistent Resident Kepala Daerah Kabupaten Pontianak).

Sejak itu, bangsa Belanda semakin banyak yang berdatangan ke Pontianak hingga membangun bisnis ekspor-impor.

Sejak didirikan hingga 1950, Kesultanan Pontianak tercatat mengalami pergantian sultan hingga delapan kali.

Sultan Pontianak keenam, yakni Sultan Syarif Muhammad Alqadrie, memerintah sampai kedatangan Jepang.

Ia meninggal akibat penganiayaan oleh Jepang, yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Mandor.

Pada masa Jepang, Pontianak seakan terisolasi dari kehidupan luar dan ekonomi rakyat menjadi sulit.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Jepang menggalakkan pertanian pangan di seluruh Kalimantan Barat.

Kota Pontianak perlahan bangkit dari keterpurukannya seiring kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Berdasarkan Besluit Pemerintah Kerajaan Pontianak tanggal 14 Agustus 1946 No. 24/1/1940 PK yang disahkan J Van der Swaal, ditetapkan R Soepardan sebagai Syahkota.

Masa jabatan Syahkota R Soepardan dari 1 Oktober 1946 hingga awal 1948.

Sesuai dengan perkembangan tata pemerintahan, maka dengan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953, Pontianak menjadi Kota Praja Pontianak.

Status kota praja berlangsung hingga 1967, untuk selanjutnya menjadi Kota Madya Daerah Tingkat II Pontianak sejak 1967 hingga 1999.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, mengubah sebutan untuk Kota Madya Daerah Tingkat II Pontianak menjadi Kota Pontianak.

Referensi:

  • Nurcahyani, Lisyawati, Pembayun Sulistyorini, dan Hasanudin. (1999). Kota Pontianak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/12/04/210000979/sejarah-kota-pontianak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke