Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Abdul Wahab Saleh, Juru Foto Peristiwa Pertempuran di Surabaya

Padahal tanpanya, generasi penerus Indonesia mungkin tidak bisa menyaksikan aksi heroik para pejuang pada masa pertempuran kemerdekaan di Surabaya.

Abdul Wahab Saleh adalah sosok juru foto yang mengabadikan berbagai peristiwa seputar Pertempuran Surabaya yang berlangsung sejak September hingga awal Desember 1945.

Salah satu peristiwa bersejarah di Surabaya yang berhasil dipotret oleh Abdul Wahab Saleh adalah perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) pada 19 September 1945.

Tidak hanya bertugas di Surabaya, Abdul Wahab Saleh juga meliput perjuangan para gerilyawan dan tokoh diplomasi di sejumlah daerah.

Sayangnya, nama Abdul Wahab Saleh seakan tenggelam karena ia menjual hak cipta foto-fotonya akibat masalah ekonomi.

Bercita-cita menjadi jurnalis

Melansir Kompas.id, Abdul Wahab Saleh lahir di Surabaya pada 23 April 1923.

Ia berasal dari keluarga santri yang tinggal di kawasan Ampel, Surabaya.

Lulus dari pesantren, Saleh menjadi guru madrasah. Pada masa itu, ia mulai belajar memotret secara otodidak.

Sejak kecil, Saleh gemar membaca dan memang bercita-cita menjadi jurnalis.

Cita-citanya perlahan tercapai saat ia diterima sebagai juru foto di kantor berita Domei.

Di kantor inilah, Saleh menjadi rekan kerja Sutomo, atau akrab dipanggil Bung Tomo.

Kiprah sebagai pewarta foto

Karier Abdul Wahab Saleh di Domei berhenti seiring menyerahnya Jepang kepada Sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Bekas wartawan Domei, termasuk Bung Tomo, kemudian mendirikan Kantor Berita Indonesia (KBI) pada 1 September 1945, yang berkantor di Jalan Tunjungan Nomor 100, Surabaya.

Saleh pun ikut bergabung ke KBI, sebelum akhirnya dilebur menjadi bagian kantor berita Antara.

Pada 18 September 1945, situasi di Surabaya mulai tidak kondusif akibat datangnya sejumlah pasukan Sekutu yang dicurigai para pejuang.

Kecurigaan para pejuang di Surabaya terbukti, ketika pasukan Sekutu yang seharusnya bertugas melucuti tentara Jepang dan membebaskan orang-orang Eropa yang menjadi tawanan perang Jepang, ternyata diboncengi bangsa Belanda yang ingin kembali berkuasa di Indonesia.

Akibatnya, pada 19 September 1945, terjadi peristiwa perobekan bendera Belanda di Hotel Hotel Oranje atau Hotel Yamato, yang kini dikenal sebagai Hotel Majapahit, yang beralamat di Jalan Tunjungan No. 65, Surabaya.

Peristiwa perobekan warna biru pada bendera Belanda tersebut dipicu oleh sikap Belanda yang menyatakan anti-republik dengan cara mengibarkan bendera mereka di atas hotel.

Dalam catatan sejarah, peristiwa perobekan Belanda di Hotel Majapahit Surabaya merupakan deklarasi terbuka pertama untuk menentang kembalinya Belanda.

Peristiwa bersejarah tersebut berhasil diabadikan oleh Abdul Wahab Saleh, yang berkantor tidak jauh dari Hotel Majapahit.

Hari itu, Saleh yang sedang beristirahat bersama rekan wartawan di kantornya, mendengar keributan para pemuda Surabaya yang memprotes pengibaran bendera Belanda di atas Hotel Majapahit.

Saleh segera berjalan menuju lokasi dengan membawa kamera dan memotret aksi heroik para pejuang yang menaiki tangga guna meraih bendera Belanda yang berkibar di atas hotel.

Sesampainya di atas, para pejuang merobek warna biru pada bendera Belanda, sehingga menyisakan warna merah dan putih yang kemudian dikibarkan lagi.

Selepas peristiwa perobekan bendera, Saleh pulang ke rumah ibunya di daerah Pabean Sayangan dan meninggalkan rol film di sana.

Setelah itu, Saleh kembali bekerja untuk mengabadikan rentetan peristiwa Pertempuran Surabaya, yang memuncak pada 10 November 1945.

Namun, ketika peristiwa pertempuran di Surabaya memuncak, Saleh justru ditugaskan ke Yogyakarta untuk meliput Kongres Pemuda Seluruh Indonesia.

Ia berangkat dari Surabaya naik mobil tua, yang nahas mengalami kecelakaan di tengah jalan hingga menyebabkan kameranya rusak.

Beruntung, Saleh mendapatkan pinjaman kamera dan dapat mengabadikan pesawat terbang yang akan digunakan untuk menyebar pamflet ajakan rapat akbar di penutupan kongres pada 10-11 November 1945.

Ketika Belanda menguasai Surabaya pada awal Desember 1945, Saleh melarikan diri ke Malang bersama rekan-rekan wartawan untuk menghindari penangkapan.

Tidak hanya Saleh, sang adik Siti Hanifah yang menjadi relawan perang kemerdekaan, juga bersiap mengungsi ke luar kota.

Ketika pamit kepada ibunya, Hanifah dititipi rol film milik Saleh, yang kemudian disimpan di ikat pinggangnya.

Setibanya di Malang, Hanifah bertemu dengan Saleh dan menyerahkan rol film yang sempat dikira sudah hilang.

Saleh kemudian mencetak rekaman peristiwa yang tersimpan di dalam rol film-nya menjadi foto yang kini dikenal sebagai peristiwa perobekan bendera di Hotel Yamato/Majapahit, Surabaya.

Karya terkenal dari Saleh lainnya adalah potret Bung Tomo ketika berpidato untuk membakar semangat arek-arek Suroboyo menjelang peristiwa 10 November 1945.

Ketika ibu kota Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta pada Januari 1946, Saleh sudah menjadi kepala bagian foto dari kantor berita Antara.

Ia kemudian menjadi salah satu wartawan Antara yang bergabung dengan korps wartawan perang yang diresmikan oleh Panglima Sudirman dengan sebutan wartawan istimewa.

Saat dilantik, mereka dijanjikan mendapat pangkat satu tingkat di bawah komandan tempat mereka beroperasi dan akan disebar ke berbagai medan pertempuran.

Namun, janji itu tidak terealisasi, meski seragam dan lencana bertulis WI (Wartawan Istimewa) sudah diterima.

Pada masa perang kemerdekaan, Saleh meliput gerilya para pejuang dan aktif mengawal proses Perundingan Linggarjati antara Indonesia dan Belanda.

Ketika Agresi Militer dilancarkan oleh Belanda ke Yogyakarta, para wartawan, termasuk Saleh, bersikap netral dan menghentikan kegiatan jurnalistik mereka.

Mereka lantas mencari penghidupan sendiri-sendiri, di mana Saleh menjalankan usaha studio foto dan cuci cetak foto.

Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, Saleh kembali aktif bekerja di Antara hingga 1952.

Saleh pindah ke Perusahaan Film Negara selama delapan tahun, kemudian bekerja di Badan Pimpinan Umum Niaga Negara.

Terpaksa menjual hak cipta

Abdul Wahab Saleh tidak berkeluarga dan memilih menghabiskan sisa hidupnya di Surabaya.

Ia terkena penyakit dan mengalami kesulitan ekonomi, sehingga harus menumpang di keluarga adiknya hingga wafat pada 28 April 1982.

Masalah ekonomi disinyalir menjadi penyebab Saleh menjual hak cipta foto-fotonya ke kantor berita foto IPPHOS.

Alhasil, semua foto bersejarah bangsa pada awal masa revolusi kemerdekaan Indonesia yang diabadikan Saleh tertulis kredit fotonya sebagai arsip IPPHOS, tanpa namanya.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/11/13/200000279/abdul-wahab-saleh-juru-foto-peristiwa-pertempuran-di-surabaya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke