Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Latar Belakang Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya

Dalam peristiwa ini, ribuan arek-arek Surabaya gugur karena melawan pasukan Sekutu yang diam-diam hendak mengembalikan Belanda pada posisi penguasa atas Hindia Belanda (Indonesia).

Pertempuran 10 November 1945 adalah puncak dari rangkaian peristiwa di Surabaya, yang dimulai dari 19 September 1945.

Apa latar belakang terjadinya peristiwa 10 November 1945 di Surabaya?

Penyebab pertempuran 10 November 1945 di Surabaya

Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, yang menimbulkan kekosongan kekuasaan di Indonesia.

Kekosongan kekuasaan tersebut segera dimanfaatkan oleh para tokoh bangsa untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Di tengah situasi yang belum stabil karena pemerintahan baru terbentuk, arek-arek Suroboyo (Surabaya) telah bersiap mengadang Belanda yang dikhawatirkan akan mengambil kembali Indonesia, yang direnggut Jepang pada 1942.

Pada 18 September 1945, sejumlah kecil tentara Inggris dan Belanda mendarat di Surabaya menggunakan parasut.

Sehari kemudian, terjadi insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Oranje atau Hotel Yamato, yang kini dikenal sebagai Hotel Majapahit, yang beralamat di Jalan Tunjungan No. 65, Surabaya.

Peristiwa perobekan warna biru pada bendera Belanda tersebut dipicu oleh sikap Belanda yang menyatakan anti-republik dengan cara mengibarkan bendera mereka di atas hotel.

Dalam catatan sejarah, peristiwa perobekan Belanda di Hotel Majapahit Surabaya merupakan deklarasi terbuka pertama untuk menentang kembalinya Belanda.

Setelah peristiwa perobekan bendera, sejumlah pejabat militer Belanda terus berdatangan untuk menyiapkan proses pendudukan kembali atas Surabaya.

Niatan Belanda telah diwaspadai oleh tokoh-tokoh di Surabaya, sehingga tidak mengherankan mereka telah mempersiapkan pertahanan kota.

Ketika para pemimpin di Jakarta sedang tersandera oleh diskusi dengan Inggris dan Belanda yang tidak rela mengakui Indonesia telah merdeka, para pejuang di Surabaya selalu siaga mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Salah satu tokoh Pertempuran Surabaya, Bung Tomo, membekali rekan-rekannya dengan senjata Jepang hasil rampasan dari gudang Don Bosco pada 26 September.

Pada 25 Oktober 1945, pasukan Sekutu yang tergabung dalam Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI), mendarat di Surabaya.

Mereka berada di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby.

Pada awalnya, Sekutu telah menyetujui kesepakatan untuk tidak melibatkan pasukan Belanda dalam AFNEI.

Namun pada kenyataannya, pasukan AFNEI diboncengi pasukan Belanda dan tidak menjalankan tugas-tugasnya dengan benar.

Tentara Sekutu melakukan penyerangan, menguasai gedung-gedung penting, melakukan patroli keliling Kota Surabaya, dan membebaskan tahanan Belanda yang dipenjara oleh Indonesia.

Tindakan-tindakan itulah yang menimbulkan kontak senjata pada 27 Oktober 1945
Pertempuran cukup mereda setelah adanya gencatan senjata pada 29 Oktober.

Namun, situasi kembali memanas setelah AWS Mallaby tewas akibat terkena tembakan pada 30 Oktober 1945.

Tewasnya AWS Mallaby menjadi penyebab munculnya ultimatum dari Sekutu.

Pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh, mengeluarkan ultimatum pada 9 November 1945.

Ultimatum itu berisi perintah kepada arek-arek Surabaya agar menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan.

Apabila tidak dipatuhi, Sekutu mengancam akan menggempur Surabaya dari darat, laut, dan udara.

Selain itu, semua tokoh dan para pemuda di Surabaya harus menyerahkan diri selambat-lambatnya pada 10 November 1945, pukul 06.00 pagi di tempat yang telah ditentukan.

Ultimatum itu tidak dipenuhi oleh para tokoh maupun masyarakat Surabaya, yang siap berperang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Lewat pidatonya pada 9 November 1945, Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo atau dikenal sebagai Gubernur Suryo, menyerukan kepada arek-arek Surabaya untuk melawan pasukan Sekutu demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Seruan Gubernur Suryo segera ditanggapi oleh para pejuang di Surabaya dengan mengangkat senjata.

Itulah mengapa terjadi Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya antara arek-arek Suroboyo melawan pasukan Sekutu.

Untuk menghormati sekaligus mengenang para pahlawan yang gugur dalam Pertempuran Surabaya, 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.

Referensi:

  • Palmos, Frank. (2016). Surabaya 1945: Sakral Tanahku (Terjemahan, Johannes Nugroho). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/11/06/080000779/latar-belakang-peristiwa-10-november-1945-di-surabaya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke