Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bukti Kerajaan Aceh Maju dalam Diplomasi

Hubungan diplomatik merupakan salah satu unsur penting dalam tradisi bina-negara di sebuah kerajaan.

Pada masa Islam, hubungan diplomatik dengan kekuatan politik lebih besar dan lebih kuat pernah dilakukan oleh Kerajaan Aceh.

Bahkan disebutkan bahwa Kerajaan Aceh termasuk kerajaan modern yang paling maju dalam diplomasi.

Apa bukti yang mengatakan Kerajaan Aceh termasuk kerajaan modern yang paling maju dalam berdiplomasi?

Bukti Kerajaan Aceh maju dalam diplomasi

Untuk meningkatkan kemampuan militernya, Kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatik dengan beberapa kerajaan dari dalam maupun luar Nusantara.

Dalam diplomasi dengan berbagai kekuatan besar di dunia, Kerajaan Aceh termasuk kerajaan modern yang paling maju dalam berdiplomasi.

Hal ini dibuktikan dengan usaha Aceh menjalin kerja sama dan diplomasi dengan Kekaisaran Turki Usmani.

Usaha Aceh menjalin kerja sama dan diplomasi dengan Kekaisaran Turki Usmani merupakan salah satu cara Kesultanan Aceh Darussalam mengusir bangsa Portugis dari Malaka.

Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511 berimbas pada aspek politik, ekonomi, dan militer di kawasan tersebut.

Ketika Alauddin Ri'ayat Syah al-Kahar naik takhta pada 1537, ia meneruskan perjuangan Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528), sultan pertama Aceh, untuk melawan Portugis di Malaka.

Untuk memudahkan perjuangannya, Sultan Alauddin membangun hubungan diplomatik dengan Kekaisaran Turki Usmani, yang kala itu merupakan imperium Islam terkuat di dunia.

Hubungan Kerajaan Aceh dan Kekaisaran Turki Utsmani pun dimulai sejak masa Sultan Alauddin Ri'ayat Syah al-Kahar dan Sultan Sulaiman I atau Sultan Sulaiman al-Qanuni.

Sultan Alauddin mengirim surat untuk Sultan Sulaiman I di Kekaisaran Ottoman, yang dibawa oleh seorang utusan bernama Umar dan Husain.

Setelah kedatangan surat dan utusan Sultan Alauddin, Sultan Sulaiman I mengirimkan utusannya yang bernama Lutfi ke Aceh.

Lutfi tiba di Aceh pada 1562. Selama di Aceh, Lutfi disebut sebagai pelayan setia dan tidak pernah gagal dalam menjalankan tugas-tugas Sultan Sulaiman I.

Bersamaan dengan pulangnya Lutfi pada sekitar 1564, Kerajaan Aceh kembali mengutus Husain yang membawa sepucuk surat beserta barang-barang persembahan untuk sultan Ottoman berupa lada, sutra, kayu manis, cengkeh, kapur, dan hisalben.

Dalam suratnya, Sultan Alauddin memohon agar Aceh dijadikan wilayah vasal (bawahan) Kekaisaran Ottoman, permohonan meriam serta alat-alat perang, pasukan, dan tenaga ahli seperti pelatih kuda dan para insinyur yang ahli membuat benteng serta kapal perang.

Dengan menjadi vasal, siapapun yang menyerang Aceh, maka Kekaisaran Ottoman pasti akan mengirimkan bantuan untuk mempertahankannya.

Bagi Kekaisaran Ottoman, nantinya akan mendapatkan wilayah kekuasaan musuh yang ditaklukkannya.

Dalam suratnya, Sultan Alauddin juga meminta Sultan Sulaiman memerintahkan para gubernur di kawasan yang dilalui, seperti Mesir, Yaman, Jeddah, dan Aden supaya mempermudah perjalanan para utusan menuju Aceh beserta barang-barang bawaannya.

Tidak lupa, Sultan Alauddin menyebut bahwa untuk menunjukkan penghormatan kepada Sultan Ottoman, maka dikirim pelayan bernama Husain yang dikenal sebagai pemilik ilmu.

Surat yang dikirim Sultan Alauddin melalui Lutfi dan Husai mendapat respons dari Sultan Salim II, putra Sultan Sulaiman I.

Pasalnya, sebelum membaca surat dari Aceh, Sultan Sulaiman I meninggal dan Sultan Salim II pun dilantik menjadi penggantinya.

Sultan Salim II bersikap baik dan menerima surat yang disampaikan oleh delegasi Kerajaan Aceh tersebut.

Sultan Turki tidak pernah menyetujui permintaan Kerajaan Aceh untuk menjadi salah satu vasalnya.

Kendati demikian, Sultan Salim II menyatakan akan memberi bantuan yang diperlukan serta berjanji armadanya akan dikirim ke Aceh untuk berperang mengalahkan bangsa Portugis dan merebut pulau-pulau yang dikuasainya.

Alasan sultan Turki membantu Aceh adalah komitmen untuk melindungi kaum Muslim dan hukum Islam dari pusaran bangsa Eropa (khususnya penguasa Kristen), dalam hal ini Portugis.

Sebagaimana ayahnya, Sultan Salim II juga berkeinginan terus berjuang melawan orang-orang kafir yang senantiasa memerangi orang Islam.

Korespondensi nyata antara Kekaisaran Turki Ottoman dan Kerajaan Aceh terjadi sebanyak dua kali, yakni pada masa Sultan Alauddin dan pada masa Sultan Iskandar Muda, atau sekitar awal abad ke-17.

Sejalan dengan hubungan diplomatik Aceh-Turki Utsmani yang intensif, beberapa anggota artileri Turki dikirim ke Aceh, berikut senjatanya, untuk berperang melawan Portugis di Malaka.

Sejumlah sumber Eropa memberitakan bahwa pada 1620 Raja Aceh memiliki 2.000 meriam, di mana 800 di antaranya berukuran besar.

Meriam-meriam tersebut sebagian diperoleh dari Kesultanan Turki Utsmani.

Salah satu bukti bahwa Kerajaan Aceh memiliki hubungan diplomatik yang sangat harmonis dengan Kesultanan Turki Usmani adalah Meriam Lada Sicupak, yang kini berada di Kecamatan Peureulak Kota, Kabupaten Aceh Timur.

Selain dengan Turki, Kerajaan Aceh giat menjalin hubungan diplomatik dengan India, Mesir, dan Arab.

Penguasa Sri Lanka dan Kalikut yang sudah lama bermusuhan dengan Portugis juga ingin membangun hubungan baik dengan Aceh.

Beberapa sejarawan menyatakan bahwa tidak ada penguasa lain di Nusantara yang mempunyai hubungan politik dan diplomatik yang begitu intens dengan kerajaan-kerajaan Islam di Mughal (India), Persia, dan Turki Utsmani, kecuali Kerajaan Aceh.

Referensi:

  • Hakim, Lukman. (2022). Berebut Hegemoni di Selat Malaka: Peran Usmani dalam Konflik Militer Aceh-Portugis Tahun 1562-1640 M. Serang: Penerbit A-Empat.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/07/25/230000379/bukti-kerajaan-aceh-maju-dalam-diplomasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke