Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bias Sejarah: Pengertian dan Contohnya

Berdasarkan etimologi, sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu syajaratun, yang berarti pohon.

Sementara itu, dalam bahasa Inggris disebut history. Kata history berasal dari bahasa Yunani, istoria, yang berarti ilmu.

Sejarah diibaratkan seperti pohon, karena pohon terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dan saling berkaitan, mulai dari akar, batang, daun, hingga ke buahnya.

Semua bagian ini menjadi satu-kesatuan yang saling berhubungan.

Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan juga bahwa dapat terjadi bias dalam penulisan sejarah.

Apa itu bias sejarah?

Maksud dari bias sejarah

Bias sejarah adalah adanya kecenderungan ketidakjujuran atau memihak satu kelompok tertentu dalam merekonstruksi suatu peristiwa sejarah.

Cukup dapat diyakini bahwa satu, dua, atau bahkan lebih banyak orang dapat menginterpretasikan suatu peristiwa yang dilihat dengan cara dan makna berbeda-beda.

Dalam melihat peristiwa sejarah, seseorang atau peniliti dapat dipengaruhi oleh sudut pandang masing-masing yang kemudian melahirkan sebuah persepsi.

Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa konsep bias memiliki makna tentang kecenderungan pikiran seseorang atau sekelompok orang yang membela satu pihak dan menentang pihak lainnya.

Bias sejarah dapat terjadi karena penjelasan yang dikatakan pengamat belum tentu identik dengan peristiwa aslinya.

Lalu, ada kemungkinan pengamat juga hanya menjelaskan sebatas apa yang diingat saja dan ditambahkan dengan sudut pandang pribadi.

Hal ini juga sesuai dengan peranan sejarah sebagai cerita.

Sejarah, pada hakikatnya, merupakan hasil rekonstruksi sejarawan berdasarkan fakta-fakta yang ada.

Dengan demikian, sejarah sebagai cerita juga masih dipengaruhi oleh penafsiran sejarawan dalam memaknai sebuah peristiwa tertentu.

Contoh bias sejarah

Contoh bias sejarah yang terjadi di Indonesia adalah tentang Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).

Supersemar adalah surat yang menjadi tonggak awal perubahan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru.

Supersemar dikeluarkan pada 11 Maret 1946, yang berisi pemberian mandat kekuasaan kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat Soeharto.

Letak bias sejarah dalam surat tersebut dapat dilihat dari adanya perbedaan interpretasi mengenai maksud dikeluarkannya Supersemar.

Setelah Supersemar dikeluarkan, Soeharto segera melakukan aksi beruntun, seperti membubarkan PKI, menangkap 15 menteri pro-Soekarno, mengontrol media massa, dan mengembalikan anggota Tjakrabirawa ke daerah asal.

Sementara itu, menurut Soekarno, Supersemar adalah instruksi kepada Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu guna mengawal jalannya pemerintahan.

Kemudian, Supersemar juga berisi tentang perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan diri Soekarno sebagai presiden beserta keluarganya.

Akan tetapi, jenderal yang membawa Supersemar dari Bogor ke Jakarta, yaitu Amir Machmud pada 11 Maret 1946, menyimpulkan bahwa surat itu merupakan penanda pengalihan kekuasaan.

Perbedaan interpretasi inilah yang membuat Presiden Soekarno sempat mengecam tindakan Soeharto karena dianggap menyalahgunakan Supersemar.

Selama pemerintahan Orde Baru berkuasa, Soeharto pun membuat narasi tulisan sejarah bahwa Supersemar memang berisi mandat pengalihan kekuasaan dari Soekarno.

Di sanalah letak bias sejarah yang terjadi seputar Supersemar serta pengalihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.

Referensi:

  • Tim Redaksi Majalah Tebuireng. (2017). Merajut Perdamaian di Tengah Perselisihan, Majalah Tebuireng Edisi 52. Jawa Timur: Majalah Tebuireng.

https://www.kompas.com/stori/read/2022/09/08/110622879/bias-sejarah-pengertian-dan-contohnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke