Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengaruh Kehidupan Maritim Sriwijaya terhadap Perkembangan Agama Buddha

Bahkan pada masa kejayaannya, Sriwijaya disebut-sebut sebagai kerajaan maritim terbesar di Indonesia.

Kerajaan maritim merujuk pada kerajaan-kerajaan yang ekonominya bergantung pada perlayaran dan perdagangan.

Selain dikenal sebagai kerajaan maritim yang masyhur, Kerajaan Sriwijaya juga menjadi pusat penyebaran agama Buddha.

Lantas, adakah pengaruh kehidupan maritim Sriwijaya terhadap perkembangan agama Buddha?

Kehidupan maritim Sriwijaya

Potensi kemaritiman Sriwijaya berkat lokasinya, yakni berada di tepian Sungai Musi, di daerah Palembang, Sumatera Selatan.

Letaknya tersebut terbilang strategis, karena dekat dengan Selat Malaka, yang merupakan urat nadi perdagangan di Asia Tenggara.

Ramainya lalu-lintas perdagangan di Selat Malaka dengan sendirinya memengaruhi pelabuhan di Pulau Sumatera.

Kondisi itu dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Kerajaan Sriwijaya, yang dalam perkembangannya mampu menguasai Selat Malaka.

Berkat armadanya yang kuat, Sriwijaya juga menguasai daerah-daerah yang berpotensi menjadi saingan dan mengganggu dominasinya.

Dari situlah, Sriwijaya tumbuh kuat dan memiliki peran besar dalam perdagangan nasional dan internasional.

Wilayahnya bahkan menjadi pusat perdagangan antara belahan dunia timur (China dan Asia Tenggara) dan India.

Kerajaan Sriwijaya tercatat sangat aktif melakukan transaksi perdagangan antarpulau Nusantara dan dengan negeri-negeri asing seperti China, India, Myanmar, Kamboja, Filipina, Persia, dan Arab.

Pengaruh kehidupan maritim Sriwijaya terhadap perkembangan agama Buddha

Peran Kerajaan Sriwijaya sebagai pemegang hegemoni dan meramaikan perdagangan internasional berpengaruh terhadap perkembangan agama Buddha.

Sejak abad ke-7, Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai pusat penyebaran dan ilmu pengetahuan agama Buddha di kawasan Asia Tenggara.

Hal itu hanya mungkin dicapai jika Sriwijaya terbuka untuk hubungan dengan luar negeri atau mengembangkan kehidupan maritim kerajaan.

Bukti bahwa Sriwijaya pernah menjadi pusat kegiatan agama Buddha adalah catatan I-Tsing, seorang biksu China yang merupakan penjelajah dan penerjemah teks agama Buddha.

Dalam perjalanannya ke India untuk memperdalam ajaran Buddha, I-Tsing sempat singgah kemudian tinggal di Kerajaan Sriwijaya.

Perkembangan kehidupan beragama Kerajaan Sriwijaya menurut I-Tsing sangat baik.

Pada kunjungan pertamanya (671-672), I-Tsing menghabiskan enam bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sanskerta dan Melayu.

Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Nalanda di India, yang menjadi pusat pendidikan agama Buddha saat itu, dan tinggal selama 11 tahun untuk memperdalam ilmunya.

Pada 687, dalam perjalanannya kembali ke China, I-Tsing singgah lagi di Kerajaan Sriwijaya.

Saat itu, Palembang telah menjadi pusat penyebaran agama Buddha dan I-Tsing tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan kitab suci Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Mandarin.

Perkembangan agama Buddha di Kerajaan Sriwijaya dapat berjalan pesat karena didukung pula oleh pihak pemerintahan.

Pemerintah kerajaan melakukan pembinaan kehidupan umat beragama dan raja-raja Sriwijaya juga selalu tampil sebagai pelindung agama Buddha.

Hal itu seperti tertulis pada Prasasti Nalanda, yang sebagian isinya menerangkan bahwa Raja Balaputradewa dari Sriwijaya meminta Raja Dewapaladeva di India untuk menyediakan tanah sebagai pembangunan asrama bagi pelajar agama Buddha dari Sriwijaya.

Isi prasasti ini menjadi bukti bahwa Raja Sriwijaya menaruh perhatian sangat besar terhadap pengajaran dan pendidikan agama Buddha, bahkan mendukung rakyatnya yang belajar hingga ke luar negeri.

Selain itu, Prasasti Nalanda juga menyebut bahwa lima desa di Calcutta Kalkutta (sekarang Kolkata), India, dibebaskan dari pajak untuk keperluan misi agama Buddha Kerajaan Sriwijaya.

Adapun setelah kembali dari India, para pelajar tersebut akan meneruskan ilmunya dengan mendirikan pusat pendidikan dan pengajaran agama Buddha di Sriwijaya.

Peran Sriwijaya dalam pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara

Peranan Kerajaan Sriwijaya dalam pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara sangat besar karena keberadaan para guru yang termasyhur namanya.

Salah satu pendeta agama Buddha yang tersohor di Sriwijaya bernama Sakyakirti.

Sakyakirti adalah mahaguru Buddha di Sriwijaya yang telah menjelajah lima negeri di India untuk menambah ilmunya dan merupakan pengarang kitab Hastadandasastra.

Selain Sakyakirti, ada pula Dharmakirti, guru agama Buddha sekaligus biksu tertinggi di Sriwijaya yang juga termasyhur namanya.

Bahkan, antara tahun 1011-1023, datang pendeta dari Tibet bernama Attisa ke Sriwijaya dengan tujuan belajar kepada Dharmakirti.

Berkat peran para mahaguru tersebut, Kerajaan Sriwijaya kerap dikunjungi oleh para biksu dari berbagai negeri.

Dalam catatannya, I-Tsing kagum dengan perkembangan agama Buddha di Sriwijaya.

I-Tsing bahkan menyarankan para biksu dari negerinya yang hendak menuju Nalanda, singgah dan belajar di Sriwijaya.

Para biksu yang melawat ke Sriwijaya pun mempunyai tempat khusus dan sangat dihormati, baik oleh penguasa ataupun rakyatnya.

Meski pada saat itu Nalanda disebut sebagai pusat pengajaran agama Buddha terbesar, Sriwijaya menjadi pusat penyebaran dan ilmu pengetahuan agama Buddha di kawasan Asia Tenggara.

Berita China juga melaporkan bahwa pada zaman dulu, Sriwijaya mempunyai perguruan tinggi Buddha yang cukup baik.

Referensi:

  • Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Eds). (2008). Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.

https://www.kompas.com/stori/read/2022/08/30/130000979/pengaruh-kehidupan-maritim-sriwijaya-terhadap-perkembangan-agama-buddha

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke