Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Punden Janjang dan Tradisi Manganan Janjang di Blora

Konon, Pangeran Jati Kusumo dan Jati Swara adalah dua bersaudara putra dari Sultan Pajang.

Sampai saat ini, Punden Janjang dikeramatkan dan dihormati oleh masyarakat Blora, khususnya warga Desa Janjang.

Bahkan, banyak penjabat daerah maupun dari luar daerah, yang memahami cerita Pangeran Jati Kusuma dan Jati Swara, yang disebut Eyang Janjang, menyempatkan berkunjung ke punden ini.

Selain itu, sebagai bentuk penghormatan kepada Eyang Janjang, setiap setahun sekali masyarakat menggelar upacara Manganan Janjang.

Asal-usul nama Desa Janjang

Pangeran Jati Kusumo dan Jati Swara dikenal sebagai sosok yang suka menolong dan mengembara ke berbagai daerah untuk menyebarkan agama Islam.

Konon, mereka mempunyai kesaktian yang tinggi, dan selama mengembara, juga menyebarkan ilmu yang dimilikinya kepada orang-orang yang ditemui.

Dalam pengembaraannya, mereka sampai di daerah yang cukup tinggi dan memutuskan untuk menetap ditempat tersebut.

Tempat yang tinggi itu kemudian dinamakan Janjang. Hingga saat ini, daerah yang menjadi tempat peristirahatan kedua pangeran dinamakan Punden Janjang. 

Selain makam Eyang Janjang, di area punden juga terdapat makam Rondo Kuning, yakni seorang putri yang konon ingin diperistri oleh dua putra Sultan Pajang tersebut.

Di samping itu, juga terdapat guci berisi air yang dianggap memberi berkah, batu pasujudan, dan bangsal yang gunakan untuk pertunjukan Wayang Krucil.

Tradisi Manganan Janjang dan mitosnya

Sebagai bentuk penghormatan kepada Pangeran Jati Kusumo dan Jati Swara, setiap setahun sekali, masyarakat sekitar menggelar upacara Manganan Janjang. 

Manganan Janjang merupakan upacara adat yang dilaksanakan pada Jumat Pon di bulan Sapar (tahun Jawa).

Melalui Manganan Janjang, masyarakat Janjang juga menganggapnya sebagai permohonan agar kehidupan mereka sejahtera dan terhindar dari musibah.

Saat upacara Manganan Janjang, digelar pertunjukan Wayang Krucil, yang dipercaya sebagai simbol lelulur desa dan abdi dalemnya, yakni Kiai Brajat, Kai Kuripan, Nyai Sekintir, Semar, dan Blentik. 

Upacara dimulai sejak Jumat pagi hingga sore, di mana masyarakat sekitar akan datang ke punden dengan membawa nasir urap, tumpeng bucu, dan ayam panggang.

Makanan tersebut kemudian dijadikan dalam satu wadah dan dibagikan kepada warga Janjang serta para pengunjung yang menyaksikan Manganan Janjang.

Acara kemudian dilanjutkan dengan prosesi melepas ikatan ketupat luwar yang berisi beras kuning dan uang receh.

Ikatan tersebut harus dilakukan dalam satu tarikan. Terurainya ketupat luwar merupakan simbol terlepasnya seseorang dari masalah.

Manganan Janjang dipercaya oleh masyarakat membawa ramalan tentang keadaan Desa Janjang pada waktu yang akan datang. 

Apabila nasi yang dibagikan kurang, menandakan akan ada masa paceklik yang melanda Desa Janjang.

Jika daun jati yang dipakai untuk membungkus nasi juga kurang, maka pertanda bahwa harga tembakau akan mahal.

Kemudian, apabila yang kurang adalah air gentong yang dibagikan, maka pertanda Desa Janjang akan terkena kemarau panjang.

Tradisi Manganan Janjang dipercaya masyarakat berakar dari Kerjaan Jipang Panolan pada akhir masa pemerintahan Arya Penangsang, yang masih dilakukan sampai sekarang.

https://www.kompas.com/stori/read/2022/06/17/110000779/punden-janjang-dan-tradisi-manganan-janjang-di-blora

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke